Para penolak syariat Islam kini sudah mengalami kemajuan luar biasa. Setiap gerakan apapun, kini, selalu dikaitkan untuk mewaspadai syariat. Yang terbaru adalah masalah RUU APP
Syariat porno? judul ini rasanya agak menyeramkan. Tapi tengoklah, ketika ribut-ibut soal RUU APP-- yang kini rupanya bergeser dari isu yang sebenarnya. Terlepas dari apakah semua pasal-pasal yang diperdebatkan sudah 100% mencerminkan syari'at Islam atau tidak-- perdebatan kini sudah bergeser dari yang seharusnya ada dalam ruang politik, menjadi isu lama tentang pro kontra syari'at Islam dalam Negara.
Harian Duta edisi Ahad 16-April 2006, memuat wawancara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan aktifis Jaringan Islam Liberal yang dipublikasikan dalam situs resminya, dengan memberi judul "Gus Dur: Jangan Negeri Ini Bikin Aturan Berdasar Islam Saja". Diantara petikan wawancara tersebut berbunyi:
JIL: Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana kira-kira nasib masyarakat non-muslim?
Gus Dur: Ya itulah… Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau bertentangan dengan UUD 45. Dan pihak yang berhak menetapkan aturan ini adalah Mahkamah Agung.
Selanjutnya perkataan menjurus pada penghinaan kitab suci al-Qur'an yang tidak sepantasnya keluar dari tokoh Islam sekaliber Gus Dur. Berikut petikannya:
JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno?
Gus Dur: Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Al-Qur’an, ha-ha-ha… (tertawa terkekeh-kekeh).
JIL: Maksudnya?
Gus Dur: Loh, jelas kelihatan sekali. Di Al-Qur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam Injil kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha…
Selanjutnya, Gus Dur juga sempat mengatakan, "Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan perempuan. Itu tidak benar. Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah… saya tiap pagi selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman dengan saya. Masa saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha...
Rupanya, para penganut paham sekuler dan liberal curiga –-atau ketakutan-- RUU APP ini akan menjadi pintu gerbang untuk memasuki pemberlakuan syari'at Islam dinegeri yang mayoritas Muslim ini. Berangkat dari isu inilah tulisan ini saya buat.
Manusia Sekuler
Ketika rame-ramenya pembicaraan tentang goyang ngebor Inul, dalam sebuah buku berjudul "Mengebor Kemunafikan", Ulil Abshar Abdallah menulis: "Agama tidak bisa "seenak udelnya" sendiri masuk ke dalam bidang-bidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyaraka…..agama hendaknya tahu batas-batasnya."
Pernyataan itu mewakili pendapat kaum sekuler dan liberal. Begitulah pandangan khas kaum sekuler yang tidak mau terikat dengan aturan agama. Maksiat bukanlah suatau masalah yang perlu dipersoalkan. Asal kemaksiatan membawa manfaat dan disepakati oleh umum.
Maka ketika ribut-ribut soal RUU APP, kaum sekuler angkat bicara dengan lantang menolak tegas. Mulai dari tokoh yang paling muda sampai yang sudah udzur, dari preman, artis, pekerja wanita dan industri yang terusik dengan UU APP, aktivis, sampai yang diyakini sebagai kiyai dan "wali", bersatu menolak dengan argumen masing-masing. (Secara kasat mata , meskipun sulit dibuktikan, orang yang mau berpikir dapat melihat ada apa dibalik penolakan ini. Apalagi kalau bukan soal "uang setoran dan asap dapur yang harus selalu mengepul").
Sebagaimana diketahui bersama, kata sekular (secular) berasal dari bahasa latin saeculum yang berarti zaman sekarang. Menurut Harvey Cox (ahli teologi Kristen dari Harvard), sekularisasi mengimplikasikan proses sejarah. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama.
Dunia menurut Cox, perlu dikosongkan dari nilai-nilai rohani dan agama. Maka sistem manusia sekuler harus dikosongkan dari nilai-nilai agama. Karena prespektif seseorang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, maka tidak ada seorangpun yang berhak memaksakan sistem nilainya kepada orang lain.
Konsep sekularisasi dalam politik mengharuskan bersih dari unsur-unsur agama. Oleh karena itu peran agama harus disingkirkan jauh-jauh dari institusi politik. Hal ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan sosial. Segala macam kaitan antara kuasa politik dan agama dalam masyarakat apapun tidak boleh berlaku, karena dalam masyarakat sekuler, tidak seorangpun dapat memerintah atas otoritas "kuasa suci".
Secara epistemologis, paham sekuler jauh berseberangan dengan epistemologi Islam. Jika Islam menuntut pasrah diri kepada tuannya, paham sekuler menuntut tidak adanya otoritas "kuasa suci" kepada manusia.
Jadi, intinya sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (liberal). Secara sederhana dapat diartikan pemisahan agama dari kehidupan yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari negara dan politik. Bahkan menurut Ulil Abshar, "Islam liberal bisa menerima bentuk Negara sekuler…sebab negara sekuler bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus". (Tempo, 19-25 November 2001)
Kaum sekuler percaya, bahwa hukum Islam yang terkandung didalam Al-Qur'an dan dielaborasi oleh para ahli fiqh sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman. Hukum Islam dianggap telah gagal dalam menciptakan tatanan kehidupan manusia yang ideal. Runtuhnya kekhalifahan membuktikan kebenaran anggapan itu.
Bila suatu hukum sudah tidak dapat lagi menciptakan kemaslahatan manusia, maka sudah selayaknya ditinggalkan dan diganti dengan hukum yang lain yang dapat merealisasikan tujuan tadi.
Kerangka berpikir mereka seperti itu, sejauh ini dibangun atas dua argumen. Pertama, bahwa Al-Qur'an adalah respon spontan terhadap kondisi masyarakat ketika itu. Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah SAW ditengah semerawutnya tatanan kehidupan masyarakat ketika itu.
Ditengah sistem yang sedemikian rupa, kehidupan tidak lagi berharga. Perbudakan merajalela, perempuan dijadikan sebagai barang mainan dan para kapitalis berkuasa, sementara kaum lemah terus menderita. Al-Qur'an turun untuk menguraikan semua kekusutan itu.
Nasr Hamid Abu Zaid, tokoh senior liberal berkata: "Al-Qur'an adalah produk budaya (muntaj tsaqofi)". Artinya, hukum-hukum yang termuat dalam Al-Qur'an penuh dengan nuansa tatanan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Arab abad ketujuh.
Oleh sebab itu bukanlah tindakan bijak untuk mengadopsi hukum-hukum yang ditetapkan dalam Al-Qur'an tanpa memandang perubahan sosial budaya yang terjadi. Di harian Kompas, Senin 18 November 2002, dalam artikel yang berjudul "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam", Ulil menulis : "Kita harus bisa membedakan mana ajaran Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak ".
Selanjutnya pada dua alinea berikutnya: " Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab misalnya, tidak usah diikuti. Contoh soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab " . Pada baigian lain dia menulis: "Larangan kawin beda agama, dalam hal ini perempuan Muslimah dan lelaki non Muslim, sudah tidak relevan lagi ". .
Kedua, bahwa tujuan ditetapkannya hukum Islam atau lainnya, itu bukan sekedar untuk memenuhi formal legalistiknya saja, tetapi lebih dari itu untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia. Akan tetapi, lanjutnya, maslahat itu sendiri dapat berubah sesuai dengan peredaran waktu dan tempat. Apa yang dianggap baik hari ini, belum tentu baik pada masa lalu atau masa yang akan datang. Apa yang baik ditempat ini belum tentu dapat diterima ditempat lain. Jadi apa yang dianggap baik pada masyarakat Arab abad ketujuh, belum tentu maslahat bagi masyarakat hari ini.
Misalnya hukum potong tangan dan rajam bagi pelaku zina. Almarhum Nurcholis Majjid pernah mengatakan, "Kedua hukum ini (potong tangan dan Rajam) sangat sesuai untuk dilaksanakan pada saat itu mengingat lingkungan dan tabi'at masyarakat Arab yang kasar dan ganas ketika itu."
Dalam kondisi ini, sudah tentu hukuman seperti itu sangat tidak pantas dan tidak layak diterapkan".
Yang paling akhir mereka menggunakan standar barat dengan "kitab sucinya" yang bernama HAM. Potong tangan, qishash, rajam dianggap kejahatan HAM, kejam dan brutal tidak sesuai dengan norma maysrakat hari ini.
Islam = Syari'at
Allah SWT berfirman:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam".[QS:Al-Anbiya':107].
Rasulullah SAW diutus oleh Allah dengan membawa syari'at Islam untuk memberi petunjuk jalan kebenaran. Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT kepada seluruh alam semesta melampaui dimensi ruang dan waktu. Al-Qur'an sebagai pegangan hidup setiap muslim melintasi batas sosial dan budaya. Rasulullah SAW mendapat otoritas penuh dari Allah SWT untuk menjelaskan al-Qur'an kepada umatnya untuk kemudian diamalkan.
Al-Qur'an hadir untuk mengangkat jati diri manusia yang telah terhinakan. Al-Qur'an membebaskan manusia dari penindasan dan kesengsaraan dan menciptakan sebuah masayarakat yang adil (al-adalah), egaliter (musawah), merdeka (hurriyah), serta damai dan rukun (al-salam wa al-shalah). Dalam konteks inilah Allah SWT melalui Al-Qur'an menetapkan hukum riba haram sementara jual beli halal, poligami halal tetapi "gonta-ganti pasangan" haram, mengumbar aurat haram dan menutup aurat wajib, hudud diberlakukan kepada tindak kejahatan tertentu dan seterusnya.
Secara bahasa, syari'at berarti jalan menuju sumber air. Dalam terminologi Islam, syari'at adalah totalitas ajaran Islam yang diturunkan Allah SWT kepada RasulNya Muhammad SAW tentang akidah, moral, dan aspek praktikal (muamalat) kehidupan sehari-hari. Ibnu Athir mendefinisikan syari'at sebagai ketentuan agama yang diwajibkan Allah SWT atas hambaNya.
Jadi, syari'at adalah agama Islam dan Islam adalah syari'at. Akidah Islam tidak dapat dipisahkan dengan hukum-hukum yang diterapkan. Seorang muslim yang sejati adalah yang beriman dan mengamalkan secara penuh hukum-hukum Allah SWT. Sebagai hamba Allah SWT, manusia tidak memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri. Kedaulatan sepenuhya milik Allah SWT. Sebab Dialah Yang Menciptakan, Menghidupkan, Memberi rezeki, Memberi kesehatan dan Yang Mematikan. Atas kedaulatan itulah sebagai hamba tidak punya pilihan lain selain tunduk, pasrah dan berserah diri. Itulah makna Islam yaitu berserah diri (kepada-Nya) dan pengamalnya disebut Muslim (yang berserah diri).
Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu sekalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu".[QS:Al-Baqarah:208].
DR.Wahbah al-Zuhaily pernang mengatakan, "Islam tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi beberapa bagian. Maka barang siapa yang beriman, wajib baginya mengambil secara keseluruhan. Tidak bisa di hanya memilih yang dia suka dan membuang yang tidak sesuai dengan kemauan hatinya. Karena Allah SWT telah memerintahkan hambanya untuk mengikuti semua ajaranNya dan menerapkan seluruh aturan-aturan yang telah dibuatNya, yang halal dan haram. Yang demikian itu adalah dalil atas keimanan seseorang. Sedangkan memilih selain ajaran ini berarti mengikuti langkah-langkah syetan.
Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir".[QS:Al-maidah:44].
Di ayat lain juga disebutkan sebagai penjelasan bila pemisahan syari'at dari satu ruang kehidupan berarti pengingkaran terhadap Islam itu sendiri. "Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?".[QS:Al-Baqarah:85]
Juga sebagaimana terdapay dalam [QS:Al-Ahzab:36]. "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata".
Menurut riwayat turunnya ayat ini sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Al-Thobroni, ayat ini turun berkaitan dengan penolakan Zainab terhadap lamaran Rasulullah SAW untuk Zaid, budak yang menjadi anak angkatnya. Penolakan itu mendapat reaksi keras dengan turunnya ayat ini.
Penolakan perintah Allah SWT dan RasulNya sekecil apapun, adalah kesesatan yang nyata. Pertimbangan nafsu dan akal harus tunduk kepada kehendakNya.
Imam Asy'ari, tokoh penting dalam Ahulussunnah wal Jama'ah berpendapat, akal sebagai anugerah Allah SWT tidak sanggup untuk mengetahui baik dan buruk kecuali ada petunjuk dari Allah SWT.
Sementara Imam al-Maturidi, tokoh lain dalam Ahlussunnah wal Jama'ah berpendapat, meskipun akal sesekali dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan buruknya. Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui naql atau nash.
Seluruh kandungan syari'at yang selalu membawa kemaslahatan bagi manusia, tidak selalu dapat ditangkap oleh akal. Maka jika wahyu telah memberi aturan, tidak ada ruang untuk membantah, menolak, atau memberi tafsir berdasar kemauan hawa nafsu.
Karena syariat itu adalah Islam sendiri, maka, tidak ada kompromi, diskusi, tawar-menawar atau musyawarah berdasar suara terbanyak terhadap urusan-urusan yang telah jelas diatur oleh Allah SWT. Lantas, mengapa mereka masih mengutak-atiknya? Wallohul muwaffiq ila aqwamit thoriq amin.
No comments:
Post a Comment