Isitilah Bapa yang ditujukan bagi Tuhan secara kontekstual tidak akan dijumpai dalam kitab suci al-Qur’an maupun al-Hadis, istilah ini hanya bisa dijumpai dalam Alkitab yang menjadi kitab suci umat Kristen dewasa ini. Namun demikian, seperti yang pernah kita bicarakan sebelumnya, kita juga harus tahu bahwa al-Qur’an merupakan wahyu terakhir yang diturunkan bagi semua manusia untuk semua etnis bangsa dan bahasa, dan al-Qur’an secara umum menstandarisasikan semua bahasa yang digunakan oleh Rasul-rasul sebelumnya kedalam bahasa Arab, yaitu bahasa yang dipergunakan oleh Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir.
Contoh Nabi Shaleh, semua percakapannya dengan umat beliau diceritakan didalam al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab, padahal kaum Tsamud yaitu kaumnya Nabi Shaleh, pada jaman itu tidak berbahasa Arab, begitu juga dengan Nabi Hud terhadap kaumnya, ‘Aad, lalu Nabi Nuh, mereka semua bukan keturunan Nabi Ibrahim yang menurunkan bangsa Arab. Untuk itu kita perlu menelusuri sejarah pertumbuhan bahasa bangsa Israel dimana Nabi ‘Isa diutus oleh Tuhan.
Menurut Bambang Budijanto (Lihat : Bambang Budijanto, Torah dalam hidup Bangsa Israel, Penerbit Yayasan Andi, Yogyakarta, hal. 85) penggunaan istilah “Anak Tuhan” sendiri terhadap bangsa Israel secara umum telah lama dikenal dan contohnya bisa dijumpai dalam Kitab Perjanjian Lama, misalnya :
Maka engkau harus berkata kepada Firaun : Beginilah firman TUHAN : Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung; sebab itu Aku berfirman kepadamu: Biarkanlah anak-Ku itu pergi, supaya ia beribadah kepada-Ku
- Perjanjian Lama : Kitab Keluaran 4 : 22-23
Aku akan memimpin mereka ke sungai-sungai, di jalan yang rata, di mana mereka tidak akan tersandung; sebab Aku telah menjadi bapa Israel - Perjanjian Lama : Kitab Yeremia 31 : 9
Bila kita pelajari lebih jauh dari alKitab, maka kita akan memperoleh data bahwa Bangsa Israel sama sekali tidak pernah menganggap Tuhan itu merupakan bapak mereka dalam pengertian yang sebenarnya :
Pada waktu itu, demikianlah firman TUHAN, Aku akan menjadi Allah segala kaum keluarga Israel dan mereka akan menjadi umat-Ku
- Perjanjian Lama : Kitab Yeremia 31:1
Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi. - Perjanjian Lama : Kitab Amsal 3:11-12
Oleh karena itu apabila umpamanya memang benar Yesus (Nabi ‘Isa al-Masih) menyebut Tuhan dengan istilah Bapa, maka kita juga harus mengembalikan maksud ucapannya itu sebagaimana yang umum dikenal oleh masyarakat Israel pada jamannya, sebab Nabi ‘Isa sendiri merupakan orang Israel dan agar dakwahnya diterima oleh bangsanya, diapun harus mengikuti kaidah bahasa yang ada dimasyarakat setempat.
Dalam ilmu Psikolinguistik, ada yang disebut dengan istilah Prinsipel Kooperatif, yaitu suatu cara manusia untuk bisa berkomunikasi terhadap manusia lainnya dengan memahami maksud suatu kalimat yang bisa saja artinya tidak sama persis dengan kalimat yang diucapkan oleh sipembicara, dan ini yang ada pada bangsa Israel saat itu.
Meski demikian, Nabi ‘Isa tampaknya sudah mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya perubahan makna pada bahasa yang beliau pakai, karenanya seperti yang bisa kita baca dalam Alkitab, pada kesempatan yang berbeda Nabi ‘Isa menerapkan model Psikolinguistik maksim cara (manner) yaitu mengungkapkan pemikirannya secara jelas dengan jalan memberikan penegasan maksud dari pemakaian istilah “anak ALLAH” dalam ayat-ayat berikut :
Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka, katanya :… Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. - Perjanjian Baru : Kitab Injil Matius 5: ayat 2 dan 9
Tetapi semua orang yang menerimanya diberinya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namanya - Perjanjian Baru : Kitab Injil Yohanes 1:12
Dengan demikian istilah “Anak ALLAH” ditujukan bagi orang yang senantiasa membawa perdamaian ditengah masyarakat dan orang yang beriman kepada Tuhan dan Rasul-Nya, lebih jauh dia juga memaknainya bukan dalam arti hubungan darah atau jasmani biologis, akan tetapi hanya sebagai simbol kedekatan Tuhan dengan para hamba-Nya.
Perhatikan kutipan ayat Injil berikut :
Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam aku dan aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus aku Dan aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepadaku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah satu Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam aku supaya mereka sempurna menjadi satu agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi aku. - Perjanjian Baru : Kitab Injil Yohanes 17 : 21-23
Ayat-ayat Injil diatas jelas sekali menceritakan kepada kita bahwa Nabi ‘Isa berkeinginan agar para sahabatnya memiliki hubungan yang dekat kepada sang Maha Pencipta sebagaimana kedekatan dirinya terhadap Tuhan dan pada kesempatan lain, beliau juga memberi penegasan bahwa dirinya hanyalah seorang Rasul Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri.
Demikianlah kata Yesus. Lalu Ia menengadah ke langit dan berkata : ... Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus. - Perjanjian Baru : Kitab Injil Yohanes 17:3
Jawab Yesus: Hukum yang terutama ialah : Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa. - Perjanjian Baru : Kitab Injil Markus 12:29
Oleh karena itu, kita semua tidak perlu terburu-buru menghakimi pola bahasa yang digunakan oleh ‘Isa al-Masih didalam kitab Perjanjian Baru mengenai pemakaian istilah Bapa untuk Tuhan. Sebab memang telah terbukti kalau ‘Isa al-Masih tidak pernah mengajar diluar konsep Monotheisme (Tauhid).
Sementara penggunaan istilah Bapa kepada Tuhan bila kita kaji dari kacamata sufi sendiri pada hakekatnya tidaklah dimaksudkan untuk menunjukkan pada status biologis sebagaimana terjadi pada bapak dan anak dalam kehidupan manusia. Zat Tuhan tidak dapat diketahui oleh siapapun, tidak terjangkau pengetahuan manusia karena zat itu bebas dari hubungan dengan nama-namaNya, satu-satunya yang mengetahui zat Tuhan adalah Tuhan sendiri. Dari segi dirinya, zat Tuhan tidak mempunyai nama, sebab nama-nama itu berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan kepada makhluk-makhlukNya agar mereka kenal dan bisa memanggil-Nya.
Copied from: Karina Dive
Sunday, March 9, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment