Sunday, March 9, 2008

Akar-akar penghinaan Terhadap Islam dalam Pemikiran Barat (bag.8)

Kurikulum Pendidikan dan Tantangan Menghadapi Pluralisme Agama di Eropa dan Amerika
Pada Desember 2004 lalu organisasi Liga Arab bekerjasama dengan sebuah organisasi milik PBB yang bergerak di bidang Pendidikan atau Islamic Education Sciences and Culture Organisation (IsESCO) dan Uni Eropa mengadakan seminar penting tentang potret budaya Arab Islam di dalam buku-buku sejarah di sekolah-sekolah Eropa dan Amerika.
Para ahli disuguhkan setumpuk kertas, sebagai bahan kajian buku-buku sejarah dan sastra di sekolah-sekolah Perancis, Yunani, Italia, Austria, Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat.

Para ahli tersebut sampai pada kesimpulan bahwa di sana ada hakikat yang diabaikan dan pemahaman-pemahanan rancu peradaban Arab dan Islam dalam potret yang negatif. Hal ini membantu terbentuknya persepsi buruk tentang Islam, syariah, khilafah, al-Qur’an dan wanita di dalam Islam, serta arti jihad yang dilihat sebagai perang suci untuk menyebarkan Islam dengan kekuatan bersenjata serta pengaitan Islam dengan terorisme.

Muktamar semacam ini sekali lagi menunjukan adanya kebutuhan untuk turun ke masyarakat bawah Eropa dan Amerika bahkan masyarakat Islam sendiri sebagai upaya untuk merealisasikan semua program ‘impian’ dalam dialog antara peradaban dan agama. Saya katakan impian karena saya sendiri telah mengikuti banyak seminar atau muktamar semacam ini di Kuala Lumpur, Jakarta, Bali dan di tempat lainnya. Akan tetapi dampaknya masih sangat terbatas di sejumlah kalangan akademisi dan tokoh agama serta para pengambil keputusan yang jumlahnya sangat sedikit. Sementara kurikulum-kurikulum pendidikan dan buku-buku pelajaran yang beredar di antara generasi baru masih berorientasi ke arah negatif khususnya yang terkait dalam melihat Islam.

Untuk itu, muktamar-muktamar tentang dialog peradaban antar tokoh tanpa masyarakat – melalui kurikulum-kurikulum pendidikan serta sumber-sumber pencerdasan dan informasi – masih menjadi materi dan judul-judul penting di media-media dan televisi, lain tidak.

Dialog antar peradaban bukanlah dialog antara tokoh saja, namun proses bersama antara pihak-pihak terkait dari pemerintah dan organisasi-organisasi di negara-negara peradaban yang berdialog mulai dari sisi pendidikan, pengajaran dan media dengan tujuan untuk menyebarkan budaya yang menghormati identitas, yang dibangun di atas toleransi dan mengakuan terhadap yang lain.

Apabila orang-orang Eropa menginginkan pengetahuan ideal tentang itu maka mereka harus melihat pada sejarah daulah Utsmaniyah dan bagaimana toleransi di dalamnya diterapkan secara luas. Di mana orang Yahudi dan kelompok minoritas lainnya yang non muslim menikmati toleransi dan suasana kebebasan beragama serta berfikir, untuk menjatuhkan daulah Utsmaniyah sejak akhir abad ke-19 sampai jatuhnya daulah secara total pada tahun 1924.

Mufti Mesir Dr. Ali Jum’ah dalam muktamar yang diadakan pada 17 Februari 2006 lalu telah meminta negara-negara Barat untuk merevisi kurikulum pendidikan dari segala yang merancukan potret Islam dan kaum muslimin. Dia menegaskan “pentingnya perubahan kurikulum pendidikan di Barat yang mengaburkan gambaran Islam dan kaum muslimin di kalangan anak-anak non muslim.” Ini merupakan kali pertama pernyataan keluar dari lembaga agama resmi di Mesir, yang mengandung tuntutan yang diadopsi oleh sejumlah ulama beberapa tahun lalu. Sebagai jawaban atas permintaan negara-negara Barat kepada pemerintah-pemerintah Arab dan Islam agar merevisi kurikulumnya dari segala yang dianggap Barat “terkait pada kebencian terhadap non muslim”.

Itu terkait dengan masalah kurikulum. Lantas bagaimana sikap orang-orang Eropa dan Amerika yang dididik dengan kurikulum tersebut? Apakah dia mampu beradaptasi dengan orang dari agama lain dan menghormati kemajemukan agama ini di dalam masyarakatnya? Kita ambil contoh dari Amerika Serikat, dengan membuka lembaran buku “America and the Challenges of the Religious Diversity” (Amerika dan Tantangan Keragaman Agama) yang diterbitkan pada akhir tahun 2005 ditulis oleh Robert Wothnow, professor ilmu sosial dan direktur Pusat kajian Agama di Universitas Brisnton.

Wothnow mengatakan, mungkin dikatakan bahwa krisis karikatur Denmark terjadi di Eropa dan bukan di Amerika Serikat, namun pembicaraan kita tentang Amerika Serikat penting karena pelecehan terhadap Islam di Amerika Serikat terjadi berulang-ulang di media cetak maupun elektronik termasuk oleh Sinema Hollywood. Dan juga karena keputusan politik tidak mungkin dipisahkan, sebagaimana nampak di dunia dalam berbagai momentum, dari pengaruh latar belakang agama. Namun apa bubungan isi buku ini dengan masalah karikatur pelecehan terhadap Rasul Islam?

Di sana ada hubungan di mana tidak adanya pengokohan kemajemukan agama di dalam pembentukan akal Amerika (mungkin bisa dianalogokan dengan akal Eropa) mendorong kepada pelecehan agama orang lain dan melihat itu sebagai kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dari logika ini Robert Wothnow berpendapat di dalam bukunya bahwa “orang-orang Amerika sejak awal sepakat menerka konsep bahwa masyarakat mereka – meski majemuk – pada dasarnya adalah masyarakat Kristen. Bahwa arti kemajemukan agama harus difahami secara mendasar di dalam konteks mayoritas Kristen.”

Akar konsep pemikiran ini dalam pandangan Robert Wothnow muncul sejak datangnya Cristoper Colombus ke Amerika, di mana dia berupaya mencari jalan menuju India dan Asia Timur jauh dari negara-negara Arab di selatan Eropa, sebagaimana dia juga bermimpi menemukan harta karun yang memungkinkan “untuk membayar kebutuhan pasukan pembebasan al-Quds dari kaum muslimin”.

Hal ini mengisyaratkan bahwa Amerika sejak berdirinya terikat dengan konsep pemikiran agama. Robert Wothnow mengatakan bahwa warga (koloni) generasi pertama tidak peduli memahami warga Amerika asli (Indian merah) dan melihat mereka sebagai penjahat dan pengabdi setan yang memungkinkan untuk dilakukan pengabaran dan dirubah menjadi Kristen.

Bersamaan dengan awal abad ke-18, orang-orang Amerika mulai terserang konsep pemikiran sekuler yang membuka pintu di depan orang yang menyerukan ide menerima orang lain. Namun abad ke-19 muncul kelompok-kelompok fundamentalis Kristen di mana para misionarisnya menjadi sumber rujukan untuk memahami orang lain bagi orang-orang Amerika yang dari gereja-gereja mereka bahwa peradaban dan negara Amerika kuat dengan Kristen, bahwa bangsa-bangsa lain lemah karena jauh dari Kristen. Mungkin sama dengan pemahaman kita kaum muslimin bahwa kekuatan kita muncul dari agama kita yang mendorong kepada ilmu dan membangun peradaban serta menjadi umat terbaik bagi seluruh manusia.

Dalam pandangan penulis buku ini, gerakan kajian perbandingan agama di Amerika mulai mundur pada akhir-akhir abad ke-19. Bahkan pada muktamar yang diagakan organisasi misionari tahun 1893 tentang kemajemukan agama hanya seorang muslim saja yang diundang dalam muktamar. Acara ditutup dengan perayaan kemenangan peradaban Amerika atas peradaban dan agama-gama dunia. Sedang hari ini, Robert Wothnow melihat bahwa di sana ada 3 arah (orientasi) yang menyebar di masyarakat Ameika dalam melihat kemajemukan agama.

Pertama: Orientasi orang-orang yang memasarkan spiritualitas. Mereka adalah orang-orang yang melihat kepada agama-agama sebagai bahan tawar menawar dan mencampur adukan antara falsafah agama dengan keyakinan (aqidah) di dalam membentuk pemikiran spiritual mereka. Mereka berpindah-pindah di pelajaran antar agama-agama, layaknya orang yang berbelanja di pasar perdagangan. Namun mereka tidak peduli dengan ibadah, syariat dan moralitas. Namun mereka menfokuskan diri pada masalah spiritualitas. Bisa saja mereka dari para pecinta Buda, Hindu dan sebagian perilaku sufi yang menyimpang.

Kedua: Orientasi orang-orang Kristen inklusif (inclusive). Mereka adalah orang-orang yang melihat Kristen sebagai agama utama mereka dengan persepsi bahwa agama-agama lain mewakili jalan-jalan lain yang benar untuk sampai kepada hakikat dan pengampunan bagi yang berhak mendapatkannya seperti haknya Kristen.

Ketiga: Orientasi orang-orang Kristen yang eksklusif (disclusive). Mereka adalah orang-orang yang meyakini bahwa Kristen adalah jalan satu-satunya.

Dr. Robert Wothnow melihat bahwa ketiga golongan tersebut tidak membantu menyuguhkan teori-teori praktis bagi masyarakat Amerika dalam pemahaman interaksi mereka dengan orang pengikut agama lain selain Kristen. Sebagian mereka melihat bahwa
kemajemukan sebagai bahaya budaya yang mengancam masyarakat Amerika. Dan masih tersisa puluhan pertanyaan yang diajukan dalam masyarakat Amerika secara khusus tentang masalah kemajemukan agama dan pandangan terhadap agama-agama lain, termasuk Islam, tanpa jawaban terperinci dari para penganut tiga golongan tersebut di atas. (Eramuslim)


Reference: Karina Dive

No comments: