Friday, November 7, 2008

Sedekah untuk Keluarga yang Telah Meninggal

Sedekah untuk Keluarga yang Telah Meninggal
18/09/2007

Selain do’a terhadap keluarga yang sudah meningal dunia, persoalan yang sering menuai perbedaan pendapat di kalangan umat Islam adalah masalah bersedekah untuk (atas nama) mereka. Apakah sedekah semacam ini diperbolehkan, apakah pahalanya akan sampai, dan seterusnya.

Sedekah ini seringkali ditunaikan karena beberapa sebab. Salah satunya, misalnya ketika masih hidup seseorang mempunyai keinginan (‘azam) atau bahkan janji (nadzar) untuk menyedekahkan sesuatu tetapi ia belum melaksanakannya karena segera meninggal dunia, dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Sebab lainnya, seorang anak atau kerabatnya merasa mampu secara ekonomi dan ingin bersedekah atas nama orang yang sudah mati tersebut. Hal semacam itu pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW.

Persoalan ini pernah dibahas dalam Muktamar Pertama Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya pada 13 Rabi’uts Tsani 1345 H bertepatan dengan 21 Oktober 1926. Para ulama menganjurkan sedekah ini dengan berdasar pada hadits berikut ini.

عَنِ اْبنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِىِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِى تُوَفِيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا أَنْ اَتَصَدَّقَ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِى مِحْزفًا اُشْهِدُكَ إَِنِى تَصَدَّقْتُ بِهِاعَنْهَا (رواه البخارى والترمذي وأبو داود والنسائى)

Sahabat Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa seseorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad SAW. Dia berkata; “Ibu saya meninggal, Apakah ada manfa’atnya apabila saya bersedekah untuk ibu saya?” Rasulullah menjawab, “Ya berguna bagi ibumu.” Orang itu berkata lagi, “Saya mempunyai sebuah kebun dan engkau Rasulullah aku jadikan saksi, bahwa aku telah menyedekahkan kebun itu untuk ibu saya.” (HR Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)

Sedekah untuk keluarga yang meninggal itu juga dikuatkan dengan Hadits Rasulullah SAW dari Siti ‘Aisyah ra.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِىِ صلى الله عليه وسلم اِنَّ اُمِّى اُفْتُلِيَتْ (مَاتَتْ فُجْأَةً) وَأَرَا هَالَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ. متفق عليه

“Dari Siti ‘Aisyah ra bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW: “Ibu saya mati mendadak, dan saya yakin seandainya dia bisa bicara, dia bersedekah, apakah ibu saya mendapat pahala, seandainya saya bersedekah untuk ibu saya? Rasulullah menjawab, “ya ada pahala bagi ibumu.”(HR Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, tidaklah usah khawatir bahwa niat bersedekah khusus untuk atau atas nama keluarga yang sudah meningal dunia itu tidak akan sampai kepada yang bersangkutan, sebab Rasulullah SAW sendiri telah menjawab demikian.

KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Haji Arisan

Haji Arisan
26/11/2007

Bagi banyak orang, ibadah haji bukan sekedar masalah kewajiban. Haji sudah menjadi cita-cita umat Islam pada umumnya. Maka, akhirnya banyak yang ingin menjalankan ibadah haji meski dengan segala risiko dan dengan menempuh cara apapun. Soalnya ibadah yang dilakukan di tanah suci sangat utama dibanding di tempat-tempat lainnya. Kerinduann untuk datang ke sana tidak tergantikan oleh apapun. Ya, karena ibadah haji mempunyai nilai spiritual dan kemanusiaan yang luar biasa.

Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan sistem arisan. Sekelompok orang, misalnya, mengumpulkan sejumlah uang tertentu secara rutin setiap bulannya. Lalu, pada setiap tanhunnya, uang yang telah dikumpulkan diberikan kepada salah seorang dari kelompok itu untuk berhaji, kemudian pada tahun berikutnya giliran yang lainnya. Bagaimana kedudukan haji seperti ini? Lalu bagaimana jika Ongkos naik haji (ONH) berubah-ubah dan masing-masing orang diberangkatkan haji dengan biaya yang berbeda pula?

Masalah pertama yang diangkat disini adalah soal persyaratan adanya “istitho’ah” atau kemampuan dalam menjalankan ibadah haji. Bahwa orang Islam yang diwajibkan untuk menjalankan ibadah haji atau “syarat wajib haji” adalah hanya ketika seseorang telah berkemampuan. Lalu bagaimana dengan haji yang dilakukan oleh mereka yang tidak berkemampuan?

Bahtsul masail diniyah waqiiyyah pada Muktamarke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta pada 26-29 Rabiul Akhir 1410 H / 25 – 28 November 1989 M lalu menyatakan bahwa haji yang dilakukan oleh orang yang belum memenuhi syarat istithoah tetap sah hukumnya.

فَمَنْ لَمْ يَكُنْ مُسْتَطِيْعاً لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْحَجُّ لَكِنْ اِذَا فَعَلَهُ أَجْزَأَهُ

Barangsiapa yang belum memenuhi syarat istitoah maka tidak wajib baginya berhaji, namun jika dia melakukannya maka itu tetap diperbolehkan, sebagaimana dalam kitab Asy Syarqowi I, hal. 460.

Orang yang fakir sekalipun tetap sah melakukan ibadah haji, apabila dia termasuk mukallaf. Hal ini bisa dikiaskan dengan kebolehan orang yang sakit untuk tetap melakukan shalat Jum’at, padahal sebenarnya ia tidak wajib melaksanakannya.

فَيُجْزِئُ حَجُّ الْفَقِيْرِ وَكُلُُّ عَاجِزٍ حَيْثُ اجْتَمَعَ فِيْهِ الْحُرِّيَّةُ وَالتَّكْلِيْفُ كَمَا لَوْ تَكَلَّفَ الْمَرِيْضُ حُضُوْرَ الْجُمْعَةِ

Sah haji orang fakir dan semua orang yang tidak mampu selama ia termauk orang merdeka dan mukallaf (muslim, berakal dan baligh) sebagaimana sah orang yang sakit memaksakan diri untuk melakukan shalat Jumat. Demikian seperti dikutip dari kitab Nihayatul Muhtaj III, hal. 233.

Soal haji arisan, musyawirin dalam muktamar itu sempat menyorot praktik yang sama seperti digambarkan dalam kitab Al Quyubi II hal. 208. Ada kelompok wanita di Irak yang masing-masing mengeluarkan sejumlah uang tertentu dan memberikannya kepada salah seorang dari mereka secara bergantian sampai giliran yang terakhir. Maka, maka yang demikian itu diperbolehkan oleh penguasa Irak waktu itu.

Lalu, bagaimana dengan persoalan ongkos haji yang selalu berubah-ubah dan cenderung naik, bagaimana setorannya?

Musyawirin memperhitungkan ongkos naik haji (ONH) yang dipergunakan oleh anggota arisan sebagai pinjaman barang (al-iqradl). Akda pinjam-meminjam secara syar’i adalah memberikan hak milik sesuatu dengan menggembalikan penggantinya yang persis sama dengan yang dipinjamnya.

Maka jika suatu saat ONH mengalami kenaikan, bisa jadi setoran arisan dinaikkan sesuai kesepakatan anggota. Atau bisa jadi setoran haji tetap seperti semula namun pemberangkatan salah seorang anggota menunggu sampai uang arisan haji yang terkumpul sudah mencukupi.

Dengan begitu uang yang dikeluarkan untuk memberangkatkan masing-masing anggota bisa berbeda satu sama lain. Lalu, jika ONH dihitung sebagai pinjaman dan jika salah seorang dari anggota (yang telah berhaji) meninggal dunia, maka setoran haji menjadi tanggungan ahli warisnya, sampai semua kelompok arisan bisa diberangkatkan haji. (A Khoirul Anam)

Fasal tentang Qurban

Fasal tentang Qurban
17/12/2007

Hukum menyembelih hewan qurban adalah sunnah muakkad bagi muslim, yang baligh dan berakal. Tiga hal yang barusan juga menjadi syarat atas setiap perintah yang wajib dan yang sunnah. Khusus untuk melaksanakan ibadah Qurban, disyaratkan pula mampu secara ekonomi untuk melaksanakannya sebagaimana ibadah haji.

Rincian penjelasan mengenai siapa yang dianjurkan berqurban sebagai berikut. Pertama, anak yang telah dapat dikategorikan mumayyiz (anak yang mampu membedakan yang mudarat dan mafsadat) bahkan sudah tergolong murahiq (mendekati usia baligh) belum disunnahkan untuk beribadah qurban, tetapi sah bila melaksanakannya sebagaimana ia belum wajib melaksanakan puasa tetapi sah bila melaksanakannya.

Kedua, anak kecil yang belum dapat digolongkan mumayyis termasuk juga anak balita tidak sah melaksanakan ibadah qurban, tetapi boleh dan sah bagi ayahnya meniatkan ibadah qurban untuknya.

Ketiga, orang yang dikategorikan mempunyai kemampuan untuk beribadah qurban adalah orang yang pada hari ke 10, 11, 12, 13 mempunyai kelebihan yang cukup untuk beribadah qurban dari kebutuhan primer hidupnya sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.

Penjelasan tersebut antara lain diperoleh dari kitab Muhnil Muhtaj karya Muhammad Khotib As Syarbini, Jilid II hal 283 dan Khowasyi Syrwani karya Abdul Hamid asy-Syarwani, Jilid IX hal 367.

Untuk Siapa Daging Qurban?

Bolehkah orang yang beribadah qurban memakan daging qurbannya sendiri? Menurut mazhab Syafi’ii, Maliki, dan Hanafi, orang yang beribadah qurban boleh hukumnya untuk memakan daging qurbannya sendiri, dan boleh pula bagi keluarganya yang menjadi tanggungjawabnya untuk ikut serta memakannya. Bahkan sunnah untuk memakan daging qurbannya sendiri. Sedangkan menurut mazhab Hanbali adalah wajib memakannya.

Syeikh Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab, Jilid I hal 306, mengutip dua pendapat Imam Syafi’i mengenai berapa bagian yang diperbolehkan bagi orang yang berqurban dan berapa bagian untuk disedekahkan.

Imam Syafi’i, pertama-tama menyatakan, diperbolehkan mengambil setengah bagiannya untuk yang berqurban dan keluarganya. Ini disarikan dari ayat Al-Qur’an:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS Al-Hajj 22: 28)

Pendapat itu diperbaharui oleh Imam Syafi’i (dalam qaul jadid-nya): Orang yang berkurban dan keluarganya hanya boleh mengambil sepertiga dari daging hewan qurbannya. Ini berdasarkan firman Alllah SWT:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرّ

Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. (QS Al-Hajj 22: 36).

Dalam Syarh al-Muhadzab dijelaskan, maksudh dari “al-qani’” dalam ayat diatas adalah warga sekitar rumah orang yang berqurban, sementara “al-mu’tar” adalah orang yang mengharap atau meminta daging qurban itu. Dengan demikian diperoleh tiga bagian dalam ayat di atas, yakni sepertiga untuk orang yang berkurban dan keluarganya, sementara dua pertiganya lagi untuk dibagikan kepada orang lain.

Daging qurban lebih dianjurkan untuk diberikan kepada warga muslim yang fakir dan miskin dengan niat shadaqah. Jikalau daging itu diberikan kepada muslim yang dapat dikategorikan kaya (cukup dan terpenuhi ekonominya) maka daging itu diberikan dengan niat memberikan hadiah, karena sedianya shadaqah atau sedekah itu bukan untuk orang yang sudah kaya.

Ditambahkan, menurut madzhab Syafi’i, tidak boleh memberikan daging qurban kepada selain muslim, sebagaimana zakat fitrah, karena ia tidak digolongkan termasuk orang yang berhak menerimanya. Demikian pula menurut matzhab Malikiyyah.

Daging Dibagikan Mentah atau Dimasak?

Tidak boleh memberikan kepada fakir dan miskin daging qurban setelah dimasak atau dalam bentuk jamuan makan bersama secara keseluruhan karena hak mereka adalah hak kepemilikan dan bukan hak untuk makan, sehingga mereka akan dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan, misalnya mereka butuh untuk menjualnya.

Akan tetapi, boleh juga memberikannya sebagiannya dalam bentuk daging mentah dan sebagian lainnya setelah dimasak atau dalam bentuk jamuan makan bersama. Hal ini berbeda dengan pemberian kepada orang kaya (cukup ekonominya), yakni boleh memberikan kepadanya daging qurban setelah dimasak atau dalam bentuk jamuan makan bersama.

Demikian penjelasan Syeikh Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi dalam kitab Roudlotut Tholibin, Jilid III hal 222, dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Minhajul Qowim, I hal 631.

KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU