Thursday, April 24, 2008

Islam liberal, pemurtadan berlabel islam

Islam Liberal atau JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah kemasan baru dari kelompok lama yang orang-orangnya dikenal nyeleneh. Kelompok nyeleneh itu setelah berhasil memposisikan orang-orangnya dalam jajaran yang mereka sebut pembaharu atau modernis, kini melangkah lagi dengan kemasan barunya, JIL.

Mula-mula yang mereka tempuh adalah mengacaukan istilah. Mendiang Dr Harun Nasution direktur Pasca Sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta berhasil mengelabui para mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara mengacaukan istilah. Yaitu memposisikan orang-orang yang nyeleneh sebagai pembaharu. Di antaranya Rifa'at At-Thahthawi (orang Mesir alumni Paris yang menghalalkan dansa-dansi laki perempuan campur aduk) oleh Harun Nasution diangkat-angkat sebagai pembaharu dan bahkan dibilang sebagai pembuka pintu ijtihad.

Hingga posisi penyebar faham menyeleweng itu justru didudukkan sebagai pembaharu atau modernis (padahal penyeleweng agama).

Akibatnya, dikesankanlah bahwa posisi Rifa'at At-Thahthawi itu sejajar dengan Muhammad bin Abdul Wahab pemurni ajaran Islam di Saudi Arabia. Padahal hakekatnya adalah dua sosok yang berlawanan. Yang satu mengotori pemahaman Islam, yang satunya memurnikan pemahaman Islam. Pemutar balikan fakta dan istilah itu disebarkan Harun Nasution secara resmi di IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia lewat buku-bukunya, di antaranya yang berjudud Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, terbit sejak 1975.

Pengacauan istilah itu dilanjutkan pula oleh tokoh utama JIL yakni Nurcholish Madjid. Dia menggunakan cara-cara Darmogandul dan Gatoloco, yaitu sosok penentang dan penolak syari'at Islam di Jawa yang memakai cara: Mengembalikan istilah kepada bahasa, lalu diselewengkan pengertiannya.

Darmogandul dan Gatoloco itu menempuh jalan: Mengembalikan istilah kepada bahasa, kemudian bahasa itu diberi makna semaunya, lalu dari makna bikinannya itu dijadikan hujjah/ argument untuk menolak syari'at Islam.

Coba kita bandingkan dengan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid: Islam dikembalikan kepada al-Din, kemudian dia beri makna semau dia yaitu hanyalah agama (tidak punya urusan dengan kehidupan dunia, bernegara), lalu dari pemaknaan yang semaunya itu untuk menolak diterapkannya syari'at Islam dalam kehidupan.

Kalau dicari bedanya, maka Darmogandul dan Gatoloco menolak syari'at Islam itu untuk mempertahankan Kebatinannya, sedang Nurcholish Madjid menolak syari'at Islam itu untuk mempertahankan dan memasarkan Islam Liberal dan faham Pluralismenya. Dan perbedaan lainnya, Darmogandul dan Gatoloco adalah orang bukan Islam, sedang Nurcholish Madjid adalah orang Islam yang belajar Islam di antaranya di perguruan tinggi Amerika, Chicago, kemudian mengajar pula di perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia. Hanya saja cara-cara menolak Syari'at Islam adalah sama, hanya beda ungkapan-ungkapannya, tapi caranya sama.

Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kutipan tulisan Nurcholish Madjid sebagai berikut:

Kutipan:
"…sudah jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama." (Artikel Nurcholish Madjid).

Tanggapan:
Kalau Gatoloco menolak syari'at dengan cara mengkambing hitamkan kambing curian, maka sekarang generasi Islam Liberal menolak syari'ah dengan meganggap fiqh sudah kehilangan relevansinya. Sebenarnya, sekali lagi, sama saja dengan Gatoloco dan Darmogandul itu tadi.

Tuduhan bahwa fiqh telah kehilangan relevansinya, itu adalah satu pengingkaran yang sejati. Dalam kenyataan hidup ini, di masyarakat Islam, baik pemerintahnya memakai hukum Islam (sebut saja hukum fiqh, karena memang hukum praktek dalam Islam itu tercakup dalam fiqh) maupun tidak, hukum fiqh tetap berlaku dan relevan. Bagaimana umat Islam bisa berwudhu, sholat, zakat, puasa, nikah, mendapat bagian waris, mengetahui yang halal dan yang haram; kalau dia anggap bahwa fiqh sudah kehilangan relevansinya? Bahkan sampai di zaman modern sekarang ini pun, manusia yang mengaku dirinya Muslim wajib menjaga dirinya dari hal-hal yang haram. Untuk itu dia wajib mengetahui mana saja yang haram. Dan itu perinciannya ada di dalam ilmu fiqh.

Seorang ahli tafsir, Muhammad Ali As-Shobuni yang jelas-jelas menulis kitab Tafsir Ayat-ayat Hukum, Rowaai'ul Bayan, yang dia itu membahas hukum langsung dari Al-Qur'an saja masih menyarankan agar para pembaca merujuk kepada kitab-kitab fiqh untuk mendapatkan pengetahuan lebih luas lagi. Tidak cukup hanya dari tafsir ayat ahkam itu.


Directions:
Faham JIL

Secara mudahnya, JIL itu menyebarkan faham yang menjurus kepada pemurtadan. Yaitu sekulerisme, inklusifisme, dan pluralisme agama.

Sekulerisme adalah faham yang menganggap bahwa agama itu tidak ada urusan dengan dunia, negara dan sebagainya. Inklusifisme adalah faham yang menganggap agama kita dan agama orang lain itu posisinya sama, saling mengisi, mungkin agama kita salah, agama lain benar, jadi saling mengisi. Tidak boleh mengakui bahwa agama kita saja yang benar. (Ini saja sudah merupakan faham pemurtadan). Lebih-lebih lagi faham pluralisme, yaitu menganggap semua agama itu sejajar, paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis. Dan kita tidak boleh memandang agama orang lain dengan memakai agama yang kita peluk. (Ini sudah lebih jauh lagi pemurtadannya). Jadi faham yang disebarkan oleh JIL itu adalah agama syetan, yaitu menyamakan agama yang syirik dengan yang Tauhid.

Tampaknya orang-orang yang pikirannya kacau dan membuat kekacauan agama seperti itu adalah yang telah merasakan celupan dari pendeta, atau Yahudi, atau Barat, atau yang dari awalnya bergaul di lingkungan faham sesat Ahmadiyah dan sebagainya atau di lingkungan ahli bid'ah.

Berikut ini contoh nyata, Ahmad Wahib yang mengaku sekian tahun diasuh oleh pendeta dan Romo. Kemudian fahamnya yang memurtadkan pun disebarkan oleh Johan Effendi, tokoh JIL yang jelas-jelas anggota resmi aliran sesat Ahmadiyah. Di antara fahamnya sebagai berikut:

Ahmad Wahib Menafikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai Dasar Islam

Setelah Ahmad Wahib berbicara tentang Allah dan Rasul-Nya dengan dugaan dugaan, "menurut saya" atau "saya pikir", tanpa dilandasi dalil sama sekali, lalu di bagian lain, dalam Catatan Harian Ahmad Wahib ia mencoba menafikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai dasar Islam. Dia ungkapkan sebagai berikut:

Kutipan:
" Menurut saya sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran Islam, bukanlah Qur'an dan Hadits melainkan Sejarah Muhammad. Bunyi Qur'an dan Hadits adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari Sejarah Muhammad ialah: struktur masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya dan lain-lainnya." (Catatan Harian Ahmad Wahib, hal 110, tertanggal 17 April 1970).

Tanggapan:
Ungkapan tersebut mengandung pernyataan yang aneka macam.

Menduga-duga bahwa bahan-bahan dasar ajaran Islam bukanlah Al-Quran dan Hadits Nabi saw. Ini menafikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar Islam.

Al-Qur'an dan Hadits adalah kata-kata yang dikeluarkan oleh Muhammad itu sendiri. Ini mengandung makna yang rancu, bisa difahami bahwa itu kata-kata Muhammad belaka. Ini berbahaya dan menyesatkan. Karena Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah SWT yang dibawa oleh Malaikat Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih. Jadi Al-Qur'an itu Kalamullah, perkataan Allah, bukan sekadar kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri seperti yang dituduhkan Ahmad Wahib.

Allah SWT menantang orang yang ragu-ragu:
"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (QS Al-Baqarah: 23).

Al-Qur'an dan Hadits dia anggap hanya sebagian dari sumber sejarah Muhammad, jadi hanya bagian dari sumber ajaran Islam, yaitu Sejarah Muhammad. Ini akal-akalan Ahmad Wahib ataupun Djohan Effendi, tanpa berlandaskan dalil.

Al-Qur'an dan Hadits disejajarkan dengan iklim Arab, adat istiadat Arab dan lain-lain yang nilainya hanya sebagai bagian dari Sejarah Muhammad. Ini menganggap Kalamullah dan wahyu senilai dengan iklim Arab, adat Arab dan sebagainya. Benar-benar pemikiran yang tak bisa membedakan mana emas dan mana tembaga. Siapapun tidak akan menilai berdosa apabila melanggar adat Arab.

Tetapi siapapun yang konsekuen dengan Islam pasti akan menilai berdosa apabila melanggar Al-Qur'an dan AAs-Sunnah. Jadi tulisan Ahmad Wahib yang disunting Djohan Effendi iitu jjelas mmerusak pemahaman Islam dari akarnya. Ini sangat berbahaya, karena landasan Islam yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah/ Hadits telah dianggap bukan landasan Islam, dan hanya setingkat dengan adat Arab. Mau ke mana arah pemikiran duga-duga tapi sangat merusak Islam semacam ini?

Pandangan-pandangan berbahaya semacam itulah yang diangkat-angkat orang pluralis (menganggap semua agama itu paralel, sama, sejalan menuju keselamatan, dan kita tidak boleh melihat agama orang lain pakai agama yang kita peluk) yang belakangan menamakan diri sebagai Islam Liberal.


Tokoh-tokoh Islam Liberal

Siapa sajakah yang mereka daftar sebagai Islam Liberal?
Dalam internet milik mereka, ada sejumlah nama. Kami kutip sebagai berikut:
"Beberapa nama kontributor JIL (Jaringan Islam Liberal, pen) adalah sebagai berikut:

Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Charles Kurzman, University of North Carolina.
Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
Masdar F. Mas'udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
Edward Said
Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
Asghar Ali Engineer.
Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis.
Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok -Jakarta.
Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.


Mereka itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut "Jaringan Islam Liberal" (JIL).
Penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif itu di antaranya disiarkan oleh Kantor Berita Radio 68H yang diikuti 10 Radio; 4 di Jabotabek (Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi) dan 6 di daerah.

Di antaranya Radio At-Tahiriyah di Jakarta yang menyebut dirinya FM Muslim dan berada di sarang NU tradisionalis pimpinan Suryani Taher, dan juga Radio Unisi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dua Radio Islam itu ternyata sebagai alat penyebaran Islam Liberal, yang fahamnya adalah pluralis, semua agama itu sama/ paralel, dan kita tak boleh memandang agama lain dengan pakai agama kita. Sedang faham inklusif adalah sama dengan pluralis, hanya saja memandang agama lain dengan agama yang kita peluk. Dan itu masih dikritik oleh orang pluralis.

Itulah pemurtadan lewat jalur yang menggunakan nama Islam dan orang-orang yang mengaku dirinya Muslim.


Menghadapi Islam Liberal

Untuk menghadapi pemurtadan yang diusung Islam Liberal itu sudah ada tuntunan dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Di antaranya ayat:
"Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS Al-Kaafiruun/ 109: 6). [/color]

Ibrahim Al-Khalil dan para pengikutnya berkata kepada kaumnya, orang-orang musyrikin:

"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (Al-Mumtahanah/ 60: 4) (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, Darul Fikr, Beirut, hal 509).

Dalam hadits ditegaskan:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka." (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii'in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).

Faham inklusifisme dan pluralisme agama yang diusung oleh JIL jelas bertentangan dengan firman Allah SWT dan sabda Nabi saw. Berarti faham JIL itu adalah untuk merobohkan ayat dan hadits, maka wajib diperangi secara ramai-ramai. Kalau tidak maka akan memurtadkan kita, anak-anak kita, dan bahkan cucu-cicit kita.

source: karina dive

Orientalisme dan teori pengaruh terhadap islam

Sebagian kalangan Muslim, akhir-akhir ini ada yang berpendapat, bahwa kaum Muslim tidak perlu bersikap apriori terhadap hal-hal yang asing. Islam tidak perlu takut diinfiltrasi oleh pemikiran Barat modern, Kristen, atau Yahudi. Sebab, menurut mereka, sejak awal mula kelahirannya, Islam memang sudah diinfiltrasi oleh Kristen-Yahudi. Buktinya, dalam al-Quran ada cerita tentang Maryam, Bani Israel, dan sebagainya. Jadi, wajar saja, jika Islam kemudian juga terus menyerap unsur-unsur asing dalam dirinya, seperti penerapan hermeneutika untuk tafsir al-Quran.

Untuk memahami duduk masalahnya, ada baiknya kita tinjau, latar belakang sejarah perkembangan 'teori pengaruh' ini di kalangan orientalis dan misionaris Kristen. Menurut orientalis terkenal dalam studi al-Quran, Andrew Rippin, adalah Abraham Geiger (seorang rabbi Yahudi di Jerman), orang pertama yang menggunakan pendekatan ilmiah terhadap Islam. Yang dimaksud dengan ilmiah adalah 'Teori Pengaruh Asing' kepada Islam.

Geiger menulis sebuah buku "What did Muhammad Borrow from Judaism?" Theodor Noldeke, seorang Pendeta di Jerman dan juga dedengkot orientalis dalam studi historisitas al-Quran, memuji usaha Geiger.

Murid Noldeke, bernama Friedrich Schwally, mengkritik pendapat gurunya. Menurut Schwally, yang lebih berpengaruh terhadap Islam adalah Kristen, dan bukan Yahudi. CC Torrey, seorang profesor di Universitas Yale, Amerika Serikat, mempertahankan pendapat Geiger. Torrey membahas secara panjang lebar mengenai pengaruh Yahudi dalam Islam dalam karyanya "The Jewish Foundation of Islam". Menyibukkan diri untuk menjawab pertanyaan, mana yang lebih banyak pengaruhnya kepada Islam, Yahudi atau Kristen, Prof MacDonald mengkritik karya Torrey dan mengajukan pertanyaan, "Is Islam a Jewish or a Christian heresy?" Apakah Islam itu penyimpangan dari Yahudi, atau dari Kristen?

Namun, kemudian, 'Teori Pengaruh' ini dikembangkan lebih jauh lagi. Bahwa, kata para orientalis dan misionaris, Islam bukan hanya dipengaruhi oleh Yahudi dan Kristen, tetapi juga oleh unsur-unsur budaya. Seorang misionaris Inggris untuk Isfahan, W. St. Clair-Tisdall menegaskan bahwa Islam itu bukan bersumber dari 'langit', tapi bersumber dari ragam agama dan budaya. Menurut Tisdall, konsep Islam tentang Tuhan, haji, cium hajar aswad, menghormati kabah, semuanya diambil dari budaya jahiliah. Shalat lima waktu dari tradisi Sabian. Kisah Nabi Ibrahim, Sulaiman, Ratu Balqis, Harut Marut, Habil Qabil dari Yahudi. Ashabul Kahfi dan Maryam dari Kristen. Tidak ketinggalan dari Hindu dan Zoroastria, yaitu Isra Mi'raj dan jembatan (shirath) di hari kiamat.

Para orientalis dan misionaris itu terus memproduksi untuk menyebarkan 'Teori Pengaruh' tersebut, bahkan kemudian, ada sebagian kalangan Muslim yang 'memungut' teori tersebut dan disebarluaskan kepada kaum Muslim. Sayangnya, kadangkala, ia tidak menyebutkan sumbernya. S Fraenkel menulis buku De Vocabulis in Antiquis Arabum Carminibus et in Corano Peregrinis (Mengenai kosa kata asing di dalam puisi Arab kuno dan di dalam al-Quran). Fraenkel juga menulis Die Aramaischen Fremworter im Arabischen (pengaruh Aramaik kepada bahasa Arab). Hartwig Hirschfeld menegaskan bahwa kosa kata asing (Fremdworter) di dalam al-Quran menunjukkan Islam itu tidak orisinal.

Hirshfeld mengatakan: ''Salah satu persoalan utama yang kita hadapi kemudian adalah ... bagaimana memastikan sebuah ide atau ekspresi itu muncul dari kekayaan spiritual Muhammad atau dipinjam dari sumber lain, bagaimana dia mempelajari hal itu, dan seberapa jauh hal itu diubah untuk disesuaikan dengan tujuan kenabiannya.'' Arthur Jeffery mengamini pendapat yang umum di kalangan para orientalis itu. Memang, al-Quran terpengaruh berbagai bahasa asing seperti Ethiopia, Aramaik, Ibrani, Syriak, Yunani Kuno, Persia, dan bahasa lainnya. Jeffery menyebutkan adanya 275 kosa kata asing di dalam al-Quran (Foreign Vocabulary of the Quran). Melanjutkan "Teori Pengaruh", Christoph Luxenberg (nama samaran), menyatakan bahwa bahasa al-Quran sebenarnya berasal dari bahasa Syriac (Syro-Aramaik).

Dengan bahasa puitis Arnold mengatakan: "Islam lahir di gurun pasir, ibunya Sabean Arab, ayahnya Yahudi, dan perawat yang mengasuhnya adalah Kristen Timur." Senada dan seirama dengan Arnold, Samuel Zwemer (pernah berkunjung ke Indonesia tahun 1922 sebagai seorang misionaris level internasional, pendiri dan penggagas jurnal misionaris The Moslem World serta perancang terkemuka berbagai konferensi misionaris internasional) menyimpulkan bahwa Islam bukanlah sebuah kreativitas, namun sebuah cangkokan (concoction); tidak ada yang mulia mengenainya kecuali Muhammad yang genius mencampurkan unsur-unsur lama di dalam obat mujarab baru untuk penyakit manusia dan memaksanya dengan menggunakan pedang.

Ia menulis buku "Islam: A Challenge to Faith" (terbit pertama tahun 1907). 'Teori Pengaruh' terus diperluas ke bidang-bidang yang ada di dalam studi Islam seperti filsafat, usul fikih, kalam, sufi, syariah, tafsir, dan sebagainya. Semua itu, kata mereka, juga terpengaruh dengan Yahudi-Kristen. John Wansbrough, misalnya, berpendapat historisitas tafsir serupa dengan dengan apa yang terjadi di agama Yahudi. Ia selanjutnya menggunakan istilah haggadic, halakhic, dan masoretic exegesis. Filsafat al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ikhwanus Safa, diambil dari tradisi Neo-Platonik dan Aristote.

Bahkan sekalipun al-Kindi dan al-Ghazali mengkritik teori penciptaan alam, maka kritik al-Kindi dan al-Ghazali itu pun, kata mereka, diambil dari Philoponus. Teori usul fikih diambil dari logika Aristoteles. Kalam Asy'ari apalagi Mu'tazilah berasal dari filsafat Yunani. Sufi berasal dari Neo-Platonik. Nihil novum sub sole! (Nothing is new under the sun). Mereka juga mengklaim, bahwa infiltrasi terhadap Islam, dari versi Yahudi dan Kristen, sudah ada sejak Islam muncul. Makanya, Muhammad itu bukan ummi. Ia membuat ajaran Islam dari apa yang ia baca dan dengar. Untuk menyebarluaskan pola pikir semacam itu, maka para orientalis dan misionaris itu juga membuat jurnal, ensiklopedia, bahkan universitas-universitas.

Khususnya studi tentang Islam dalam versi dan cara pandang mereka. Berdirilah, misalnya, Fakultas School of Oriental Studies, di American University, Kairo, pada tahun 1921. Fakultas ini dirancang dan digagas di United Kingdom pada 1910 oleh Zwemer dan kawan-kawan. Kairo dipilih karena pusat literatur dan peradaban Arab ada di situ. Datanglah Snouck Hurgronje ke Makkah dan bergaul dengan para syekh di sana. Terbitlah berbagai jurnal level internasional yang sibuk mengkaji Islam. Berdirilah berbagai pusat studi Islam di Eropa dan Amerika. Dikirimlah calon para pemikir Muslim dengan berbagai santunan, beasiswa untuk belajar tentang Islam. Kita tidak perlu apriori terhadap semua yang datang dari luar Islam.


Directions:
Al-Quran telah memberikan contoh, bagaimana menyebutkan hal-hal yang sama dengan yang ada dalam tradisi Kristen, Yahudi, bahkan jaihiliyah Arab, tetapi al-Quran memberikan konsep baru dan sekaligus mengkritik keras berbagai konsep Yahudi-Kristen. Jika Yahudi-Kristen menggambarkan dalam Bibel mereka, bahwa Daud dan Luth adalah pezina kelas berat, maka al-Quran menyebutkan, bahwa mereka adalah nabi-nabi Allah yang saleh. Para ulama kita sudah maklum akan hal ini. Bahkan, para ulama Islam, pun selama berabad-abad telah melakukan usaha-usaha kritis dalam mengkaji dan mengadopsi unsur-unsur asing, tanpa membongkar hal-hal yang asasi dalam Islam.

Tetapi, pola kajian orientalis-misionaris biasanya mencoba mengaburkan banyak hal. Pendekatan historis-kritis yang sudah sangat mapan dalam tradisi kajian Bibel dikacaukan dengan konsep asbab an-nuzul dalam kajian al-Quran. Dalam kajian sejarah, konsep 'teokrasi' Kristen dikacaukan dengan konsep 'khilafah' Islam. Bahkan, kajian 'Textual Criticism' terhadap Bibel juga kemudian diaplikasikan terhadap al-Quran. Ujung-ujungnya, adalah membongkar konsep al-Quran sebagai kalam Allah. Seolah-olah, semua itu, menggambarkan apa yang disabdakan Rasululah SAW, jika 'Yahudi-Nasrani' masuk ke lobang biawak, maka Muslim pun ikut juga. Jika mereka merusak agama mereka sendiri, ada saja kalangan Muslim yang ikut-ikutan. Berderet karya-karya sarjana Bibel yang mengkaji secara kritis tentang otentisitas teks-teks Bibel.

Banyak karya bisa dirujuk, seperti karya Prof Bruce M Metzger, The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration. Juga karyanya, A Textual Commentary on the Greek New Testament, dan juga The Canon of the New Testament: Its Origin, Development and Significance. Begitu juga karya Robert R Wilson Sociological Approaches to the Old Testament, dan Edgard Krentz The Historical-Critical Method. Pendekatan-pendekatan tersebut telah digunakan oleh Theodor Noldeke, F Schwally, Gotthelf Bergstrasser, Otto Pretzl, Edward Sell, Arthur Jeffery, John Wansbrough, dan lain-lain. Sell, misalnya, mengelaborasi gagasannya tentang studi kritis historisitas al-Quran di dalam karyanya Historical Development of the Quran yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India.

Sell menyeruh kalangan misionaris keristen ketika mengkaji Islam,supaya fokus kepada historitas al-Quran. Menurut Sell, kajian kritis-historis al-Quran bisa dilakukan dengan menggunakan metodologi analisa bibel (Biblical criticism). Merealisasikan idenya, Sell sendiri sudah menggunakan metodologi higher criticism. Sebelum Sell, Noldeke, ikut lomba penulisan esay tentang kritis-historis al-Quran, yang diadakan di Paris dan ia menang. Saat itu, ia masih berumur 20 tahun. Karyanya Geschichte des Qorans (Sejarah al-Quran) dipublikasikan tahun 1860. Karya ini selanjutnya dilengkapi oleh F Schwally, Bergstrasser, dan Pretzl. Mereka menyelesaikan buku kritis-historis al-Quran selama kurang lebih 68 tahun.

Jeffery ikut juga mengaplikasikan pendekatan-pendekatan tersebut. Hasilnya, Jeffery ingin menggagas al-Quran edisi kritis (a critical edition of the Koran). Latar belakang sejarah dan pemikiran ini perlu dipahami, agar dipahami, bahwa usaha untuk 'meruntuhkan' bangunan Islam tidaklah pernah berhenti. Dari bentuk yang sangat kasar, seperti yang dilakukan Salman Rushdi, sampai yang sangat halus, melalui infiltrasi pemikiran berbaju Islam. Tentu akan berbeda dampaknya, jika propagandis 'Teori-Pengaruh' itu adalah Geiger yang Yahudi dengan 'Abdul' 'yang nongkrong di organisasi Islam. Meskipun sumbernya dia-dia juga.

source: Karina dive

JIL dan kesesatannya

Maraknya JIL dimasa reformasi bersamaan dengan keinginan kuat umat Islam untuk menerapkan Syari’at Islam bukanlah suatu kebetulan, sepertinya JIL ini dibentuk untuk menghadang kelompok “Fundamentalis” yang ingin kembali kepada Islam secara Kaffah. Berikut ini mari kita coba telaah lebih jauh apa itu JIL, tujuannya dan ide-ide yang diusungnya.

JIL yakni sebuah kelompok dikomandoi oleh Ulil Absar Abdalla, seorang yang dikenal sangat dekat dengan NU dan menantu seorang Kiai NU. Selain Ulil, kontributor JIL yang lain adalah:

o Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta
o Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah (Universitas Islam Negara), Jakarta

o Masdar F. Mas'udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta
o Goenawan Mohamad, Majalah Tempo, Jakarta
o Djohan Effendi, Deakin University, Australia
o Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung
o Moeslim Abdurrahman, Jakarta
o Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah (Universitas Islam Negara), Jakarta
o Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta , dan lain-lain.

Kelompok ini bertujuan ingin membuat suatu bentuk penafsiran baru atas agama Islam dengan wawasan sebagai berikut:

a. Keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang;
b. Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks;
c. Kebenaran yang relatif, terbuka dan plural;
d. Pemihakan pada yang minoritas dan tertindas;
e. Kebebasan beragama dan berkepercayaan;
f. Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Istilah Islam liberal ini bukanlah hal yang baru dan telah diusung oleh Nurcholis Madjid pada tahun 70-an, hanya saja gaungnya sekarang lebih besar karena mereka didukung dana yang sangat besar dari luar negeri dan mereka menguasai jaringan media massa (Radio, Jawa Pos, Kompas, Tempo, Metro TV, dan lian-lain).

Menurut JIL, nama “Islam Liberal” menggambarkan prinsip-prinsip yang menekankan kebebasan pribadi (seusai dengan doktrin kaum Mu'tazilah tentang kebebasan manusia), dan “pembebasan” struktur sosial-politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Sederhananya JIL ingin mengatakan bahwa secara pribadi bebas (liberal) menafsirkan Islam sesuai hawa nafsunya dan membebaskan (liberal) negara dari intervensi agama (sekuler).

Unik memang, pada saat seseorang telah menyatakan menganut Islam maka ia terikat dengan hukum syara’ atau ia seorang mukhallaf dan ia tidak bebas lagi (liberal) karena ucapan dan perilakunya telah dibatasi oleh syari’at. Disisi lain bagaimana mungkin bisa menggabungkan antara Islam dan Liberal karena keduanya adalah ideologi yang saling bertentangan. Islam meyakini bahwa Syari’at Allah harus dijalankan diseluruh sisi kehidupan, sedangkan Liberal meyakini pemisahan urusan agama dan negara.

Baiknya coba kita permudah pembahasan ide-ide JIL ini dalam 3 topik saja, yakni:

1. Ijtihad: keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang
2. Inklusifisme: kebenaran yang relatif, terbuka dan plural
3. Sekuler: pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik


Directions:
1. Ijtihad

JIL meyakini bahwa pintu ijtihad masih terbuka dalam semua bidang dan untuk semua orang, penutupan pintu ijtihad akan menutup pintu akal dan kreatifitas seseorang.

Pintu ijtihad memang masih terbuka hingga saat ini tetapi para ulama telah memberikan batasan dalam hal apa saja boleh berijtihad dan syarat seseorang mampu mengeluarkan ijtihad (mujtahid).

Setiap orang boleh saja berijtihad tetapi ulama memberikan syarat-syarat seorang mujtahid, antara lain:

a. Pengetahuan bahasa Arab, lafadz dan susunan (tarkib) yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum yang akan digali (istimbath);
b. Pengetahuan terhadap syara' yakni nash (dalil) dari al-Qur'an dan Sunnah;
c. Pengetahuan terhadap waqi' yang akan dihukumi.

Bahkan DR Yusuf Qaradhawi (Masalah-masalah Islam kontemporer) memberikan syarat yang lebih berat semisal pengetahuan bahasa Arab, mengetahui tempat-tempat ijma’ yang tepat, ushul fiqih, qiyas dan penyimpulan, kaidah-kaidah syara’. Syarat lain harus adil, bertaqwa, tidak mengikuti hawa nafsu atau menjual agamanya untuk kehidupan dunia. Dengan demikian menurut Yusuf Qaradhawi, ijtihad bukan pintu yang terbuka bagi semua orang.

Disisi lain pintu ijtihad tertutup untuk nash-nash (dalil) qath'i tsubut (sudah pasti dari segi wujud) dan qath'i dilalah (sudah pasti dari segi petunjuk). Seperti dalil-dalil berikut:

Orang perempuan dan laki-laki yang berzina jilidlah masing-masing dari keduanya seratus kali jilid. (Qs. an-Nuur [24]: 2).

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (Qs. al-Maa'idah [5]: 38).

Atau kewajiban shalat, puasa, haji, adanya malaikat, syaithan, lauhul mahfuz, akhirat, dan lain-lain. Disini akal tidak mampu lagi menjangkaunya dan kita wajib mengimaninya sesuai dengan penjelesan al-Qur'an dan sunnah.

Masalah terbukanya pintu ijtihad ini merupakan gerbang utama bagi JIL untuk menghancurkan syari’at Islam, karena jika berhasil meyakinkan umat bahwa ijtihad masih terbuka untuk semua bidang dan setiap orang maka mereka dapat menafsirkan ayat-ayat Allah dan hadits sesuai hawa nafsu mereka. Seperti yang sempat dihebohkan beberapa waktu yang lalu tentang “Jilbab tidak wajib dan merupakan kebudayaan Arab”; “Laki-laki non-muslim boleh mengawini muslimah”; “Kebebasan beragama atau murtad”; dan lain-lain.



2. Inklusifisme

Inklusifisme secara ringkas dapat diartikan tidak eksklusif atau tidak merasa paling benar sendiri, dalam bahasa JIL bahwa agama itu seperti roda yang mempunyai jari-jari. Setiap agama adalah jari-jari dari roda tersebut, jika semua pemeluk agama (apapun agamanya) dan dia berbuat saleh maka semuanya akan menuju kesatu titik poros roda tersebut yakni syurga. Artinya, seorang Muslim, Nasrani, Hindu, Budha atau Konghucu, bila menjalankan agama dengan benar (saleh) maka semuanya akan masuk syurga.

Hal ini jelas bertentangan dengan aqidah Islam, Innaddiina'indallahil Islami.

Sesungguhnya dien (agama/sistem hidup) yang diridhai Allah adalah Islam. (Qs. Ali-Imran [3]: 19).

Barangsiapa yang mengambil selain Islam sebagai dien, tidak akan diterima apapun darinya dan ia diakhirat tergolong orang yang rugi. (Qs. Ali-Imran [3]: 85).

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian. (Qs. al-Maa'idah [5]: 3).

Hai orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Qs. Ali-Imran [3]: 102).

Islam itu unggul dan tidak ada yang dapat mengunggulinya. [HR Bukhari].

Dan Islam tidak bisa disamakan dengan agama-agama lain tersebut karena seorang Muslim yang beriman maka syurga balasannya, sedangkan orang-orang kafir dan musyrik itu adalah orang-orang yang sesat dan merugi serta kekal dalam neraka,

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Siapa saja yang menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka sesungguhnya ia tersesat sejauh-jauhnya. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 116).

Hai orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang yang diberi Alkitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (Qs. Ali-Imran [3]: 100).

Dengan konsep yang menyesatkan ini, maka umat akan dengan mudah murtad karena mereka merasa dengan memeluk selain Islampun mereka akan masuk syurga juga.



3. Sekuler

Menurut JIL, Islam tidak mengenal pemerintahan dan agama tidak mempunyai kewenangan dalam mengatur negara.

Jika kita ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam semua sektor kehidupan kita maka mau tidak mau harus memformalkan syari’at Allah Swt yang terdapat dalam al-Qur'an dan sunnah dalam bentuk Undang-undang (UU), dan sebuah UU tidak akan berjalan jika tidak dipayungi oleh sebuah pemerintahan (daulah). Hal ini-pun telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan khalifah-khalifah sesudah beliau.

Beliau menjalankan pemerintahan di Madinah, menetapkan hukum-hukum eknomi/perdagangan, sosial/pergaulan, politik luar negeri, membentuk pasukan, peradilan, pendidikan, dan lain-lain. Beliau mengangkat pembantu-pembantu (mu’awin), wali, amirul jihad, amil, qadhi, dll. Dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dengan mengangkat Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, kemudian kekhalifahan Bani Muawiyah, Abassiyah hingga Utsmaniyah. Hal ini merupakan suatu fakta bahwa Islam mengenal negara atau Islam tidak bisa dipisahkan dengan negara.

Banyak dalil-dalil yang mewajibkan terbentuknya sebuah Khilafah Islamiyah ini,

Bila dibai'at dua orang Khalifah (pada waktu yang sama), maka perangilah orang yang kedua. [al-Hadist].

(Dan) Siapa saja yang mati dan di pundaknya tidak ada bai'at (kepada Khalifah), maka ia mati dalam keadaan seperti mati jahiliah. [HR Muslim].

Maka demi Tuhanmu. Mereka tidak beriman (sebenarnya) sehingga mereka menjadikan kamu hakim untuk memutuskan perselisihan antara mereka. Kemudian mereka tidak merasa dalam hatinya keberatan terhadap putusanmu, dan menerima dengan perasaan lega. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 65).

Dan kita sangat merindukan tegaknya kembali kekhilafahan Islam ini setelah vakum selama 80 tahun, disaat runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924 M.

Demikianlah sepak terjang JIL dengan aqidah sesatnya dan menyesatkan umat, dan merupakan tantangan bagi para hamilud dakwah untuk lebih intensif berinteraksi dengan umat untuk mensosialisasikan betapa pentingnya tegaknya syari’at Islam. Wallahua’lam,

source: karina dive

Jangan komentari ide gila

Intelektual Muslim...
Beberapa waktu lalu, sebuah workshop yang membedah ide sekulerisme dan liberalisme dalam Islam digelar di Depok, Jawa Barat. Satu di antara pembicaranya adalah, Prof. DR. Mohd. Wan Daud Wan Anwar, Muslim Malaysia yang dikenal gigih membendung pemikiran liberal dan sekuler yang menyerbu kaum Muslim.

Prof. Wan, begitu ia akrab dipanggil, kini aktif mengajar di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di International Islamic University Malaysia (IIUM). Suaranya cukup lantang jika bicara soal gagasan sekulerisme dan liberalisme. Termasuk komentarnya tentang peristiwa Masdar F. Masudi, pimpinan gerakan Islam Emansipatoris yang menggagas haji bisa dilakukan tak hanya di bulan Dzulhijjah saja. “Gagasan-gagasan seperti ini tak perlu ditanggapi, ignore saja. Kalau dikomentari dia bisa jadi orang penting,” tuturnya.

Sebelum menyampaikan pikiran-pikirannya dalam workshop tersebut, Herry Nurdi dari SABILI sempat berbincang dengan Prof. DR. Mohammad Wan Daud Wan Anwar. Perbincangan kian seru ketika Adian Husaini yang sedang menuntaskan program PhD-nya di ISTAC-IIUM, turut bergabung dalam obrolan.

Menurut Prof. Wan, saat ini Barat begitu gencar mencoba menjebol pertahanan akidah kaum Muslim dari berbagai pintu, terutama sekulerisme dan liberalisme. Menurutnya, gerakan-gerakan seperti mempunyai target mengaburkan epistemologis atau menyarukan kebenaran Islam. “Jika sudah samar dan kabur, pikiran dan gagasan apa saja bisa diamalkan dan dihalalkan. Ini berbahaya,” tuturnya. Berikut petikan obrolannya:

Apa komentar Anda tentang gagasan haji yang dilontarkan Masdar F. Masudi?
Jangan dikomentari saja. Sebab kalau kita mengomentari hal yang gila, kita pun jadi gila. Kalau orang berkomentar, dia akhirnya menjadi penting. Publisitas akan memberikan market yang lebih besar untuk orang-orang seperti ini. Dia sudah menyalahi apa yang dikerjakan oleh Nabi Ibrahim. Bagaimana bisa orang mengaku lebih pintar dari para anbiya.

Di Singapura, ada seorang minister Muslim yang pernah mengusulkan puasa dipindah dari bulan Ramadhan ke Desember. Alasannya, esensi puasa adalah memerangi maksiat dan bulan paling banyak maksiat dan banyak yang bunuh diri di bulan Desember. Saya sampaikan, kalau Anda mau berpuasa di bulan Desember, silakan saja. Tapi itu bukan Ramadhan, kecuali kalau ditakdirkan Ramadhan jatuh pada bulan Desember. Tujuan puasa tidak saja melawan maksiat, tapi mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Begitu pula dengan haji yang mengikuti uswah Nabi Ibrahim. Dia ingin berhaji tidak pada bulan yang ditentukan karena mau mengelak dari kematian? Mereka hendak mengaburkan epistemologis Islam.

Kalau sudah kabur epistemologis, apapun bisa terjadi?
Ya. Kalau berdasarkan logika, mestinya kita shalat dzuhur tidak empat rakaat, karena waktu-waktu itu adalah jam sibuk. Dua rakaat lebih baik. Rakaat Subuh diganti Dzuhur. Lalu lama-lama, shalat hanya ritual saja, dan tidak diperlukan lagi, yang penting Allah. Jangan dikomentari hal-hal seperti ini, mereka akan menjadi selebriti. Memang akan ada orang-orang yang memberi fatwa mati, tapi itu hanya menjadikan dia terangkat. Tapi kalau kita diamkan, mereka akan mati sendiri.

Menurut Prof. Wan Daud, bagaimana perkembangan liberal thinker di kalangan Muslim Indonesia?
Dulu Pak Naquib (Muhammad Naquib al Attas, red) pernah ditanya, apa komentarnya tentang orang-orang yang memperolok hadis. Kalau masalah dipertajam, susah kita, lebih baik diamkan saja. Jangan baca bukunya. Jangan komentari pemikirannya. Kalau dikomentari, kita akan membuat kuman menjadi gajah.

Apa konsekuensinya kalau kuman menjadi gajah? Apa yang paling dirugikan?
Umat akan keliru tentang letak perkara yang sesungguhnya. Yang kecil dibesarkan, yang besar jadi tak tampak. Kita harus melawan yang besar, bukan yang kecil-kecil macam ini. Ha...ha...ha....

Akhir tahun 2003 lalu, sebuah lembaga survei di Indonesia menyatakan mayoritas Muslim Indonesia adalah Islam liberal, bagaimana menurut Anda?
Kita tengok dulu, apa yang dimaksud dengan makna liberal itu sendiri. Jadi kalau liberal dari segi tertentu, maka semua muslim itu liberal.

Misalnya?
Umat Islam umumnya tidak merusak hak-hak orang lain. Di Turki, Irak, hatta di Arab Saudi pun liberal, tidak mengacak hak-hak non muslim. Jadi kalau makna liberal itu menjadi longgar, ini yang jadi liberal.

Bahkan Yusuf Qaradhawi masuk dalam daftar Muslim liberal?
Kalau definisi itu menjadi kabur, maka bukan definisi lagi namanya. Definisi itu harus mengikat, jadi kalau semuanya liberal sudah tak bermakna, maka liberal tadi sudah bukan definisi lagi. Apa itu gajah, kucing, anjing? Gajah itu yang ada belalai, tinggi, besar. Maka beda dengan anjing. Sekarang apa definisi hewan? Tentu lain lagi, dia mahluk yang hidup dan bergerak.

Sekulerisasi dan liberalisasi ada di semua agama. Apakah ini memang sebuah keharusan sejarah?
Islam juga boleh menerima beberapa aspek liberal dan sekulerisasi.Tapi kita tdiak setuju dengan banyak aspek yang lainnya. Kalau makna sekulerisasi itu membebaskan manusia dari tahayul, hal-hal yang tidak rasional, Islam menerima hal itu. Tapi aspek lainnya dalam paham liberal tidak hanya menghapus yang tahayul, tapi juga menolak hal-hal yang supra-rasional, seperti Tuhan. Ekstrem sekulerisasi itu yang kita tolak. Kita jadi umat wasathan yang mutlak. Berada di tengah-tengah. Orang-orang Barat tidak punya undang-undang yang mengontrol itu semua. Bible sudah tak bermakna bagi mereka.

Kenapa mereka tak bisa menjadi bible sebagai rujukan?
Mereka tahu bahwa bible bukan lagi firman tuhan. Sebetulnya, itu adalah masalah mereka sendiri. Jangan pula ditularkan kepada kita. Mengapa harus menyalakan lilin kalau kita punya matahari. Lilin memang lampu dan bercahaya, tapi tak tak terang dan tak bisa lama. Sedangkan al Qur’an itu lebih sempurna.



Directions:
Gerakan pengaburan epistomologi ini terstruktur dan teragenda?
Ya, pihak yang mendominasi itu yang akan memarakkan paham. Itu biasa. Dia tunggangi teknologi, militer dan media.

Dalam konteks ini, kekuatan dominasi itu Amerika atau ada kekuatan lain?
Barat bukan Amerika saja. Dia sebuah fikrah campuran dari ideologi dan kebudayaan yang mencakup Romawi, Yunani, Judeo, Kristiani. Itu semua adalah Barat.

Kalau dikaitkan dengan teorinya Huntington tentang permanen confrontation, bagaimana posisi Islam dan Barat?
Islamisasi ini mempunyai sedikit kesamaan dengan sekulerisasi dan liberalisasi, sebagai proses bukan sebagai ideologi. Sudah banyak orang memahami Islam sebagai din wa daulah. Kita tidak mengenal daulah di luar din. Agama itulah daulah. Islam akan menuju ke arah sana. Di berbagai tempat di Barat, ada macam-macam yang menonjol. Kadang Yahudinya, atau Kristennya, atau Yunani atau Romawi. Tapi kalau soal menentang Islam, mereka bersatu dan merapatkan barisan.

Siapa yang dominan menguasai gerakan?
Saya tak peduli siapa, apakah di dalam atau luar negeri, tak penting. Karena itu bukan satu orang, satu negeri atau satu partai. Al Qur’an menyebutnya sayatin, jamak. Setannya banyak.

Ada beberapa model yang sebenarnya sama dengan sekulerisasi dan liberalisasi. Tapi semuanya sama, mencoba merongrong pangkal dan puncak agama. Mereka menganggap agama atau Islam seperti isme. Orang-orang seperti ini hendak memaksakan Islam ke dalam lubang pemahamannya sendiri.

Bagaimana masa depan sekulerisasi dan liberalisasi di Indonesia menurut Anda?
Mereka akan terus berusaha mematikan lampu-lampu agung. Sebagai gantinya mereka mencoba menyalakan lilin-lilin kecil. Janganlah Muslim mau diperdaya, menukar lampu-lampu agung warisan para anbiya dengan lilin-lilin kecil muslihat para cendekia. Itu perbuatan bodoh.

Lampu-lampu agung ini para anbiya?
Orang yang cukup kita kenal pribadinya, sumbangannya pada Islam. Bukan hanya satu generasi tapi terhadap berpuluh generasi. Sebab kalau otoritas para anbiya ini ditolak, maka Islam akan ditolak dengan mudah.

Sekulerisasi adalah satu konsep yang hendak mengeluarkan kesadaran tentang hakikat ruhani dari alam tabiat, ilmu pengetahuan dan perbuatan manusia. Itu semua tak bisa diterima Islam. Tapi di sisi lain, sekulerisasi bermakna menolak hal-hal tahayul, magic dan juga semua yang tak rasional. Ini bisa di terima Islam.

Sekuler tidak sama dengan sekulerisme. Sekuler berarti sesuatu yang berorientasi pada masa kini dan tempat ini. Sedangkan sekulerisme sebagai ideologi berarti hanya menerima di sini dan sekarang, lalu menolak semua masa depan yang bersifat ukhrawi. Mereka menolak adanya alam malaikan dan yang sebagainya. Islam tidak demikian. Kita tidak menafikan masa yang telah lalu dan masa yang akan datang.

Paham sekuler menolak pengekangan atas penggunaan akal yang pernah dilakukan oleh gereja selama ratusan tahun. Kini Barat mengangkat peranan akal melebihi segalanya. Kita bisa menerima peranan akal, tapi tapi bukan sebagai satu-satunya the role of reason. Sebab perjuangan kita adalah memperjuangan epistemologi.

Apa yang sebenarnya diinginkan oleg gerakan-gerakan seperti ini?
Trend sekulerisasai dan liberalisasi ingin mengguncang epistemologi Islam. Ini yang mereka inginkan pada Islam. Mereka mengatakan, Tuhan mungkin ada, menciptakan alam ini, tapi dia mati. Einstein, dengan akalnya yang pintar dia mengakui bahwa alam ini terlalu teratur untuk terjadi dengan sendirinya. Pasti ada penciptanya yang lebih pintar di balik ini semua. Tapi dengan akalnya saja, dia tidak akan pernah tahu siapa pencipta alam semesta. Dia juga tidak akan pernah tahu bagaimana memuji penciptanya dan tidak tahu bagaimana beribadah kepada-Nya.

Tapi dengan iman dan Islam, kita tahu nama pencipta adalah Allah. Siapa yang menunjukkannya pada kita? Bukan akal, bukan pula pengalaman kita sendiri. Tapi pengalaman mereka yang tidak pernah berbohong. Kenapa kita yakin mereka tidak berbohong? Karena dia dikenal tak pernah berbohong. Lalu hal seperti ini hendak dibongkar oleh paham-paham seperti sekulerisme dan liberalisme. Mereka menafikan Rasul dan para sahabat. Dan bodoh jika kita memperturutkan hal yang seperti ini. Bodoh jika kita mematikan lampu-lampu agung lalu menggantinya dengan lilin kecil yang tak terang dan tak abadi.

Tapi dikalangan Muslim muda Indonesia, gerakan menolak otoritas agung mendapat respon yang cukup....
Anak muda tak apalah, kalau yang tua memikul itu bahaya. Orang muda bisa berbuat salah. Dia masa mengembara, pada saatnya akan pulang seperti elang. Tapi juga perlu hati-hati, kadang-kadang elang lupa jalan pulang. Bahkan ada pula elang yang pula sebagai gagak, bulan elang lagi.

Ada kekhawatiran seperti itu?
Ada. Tapi ada banyak pula elang yang pula dengan sayap yang lebih kuat dan paruh yang lebih tajam.

Orang-orang dari kalangan sekuleris dan liberalis, seringkali mereka berargumen sedang berijtihad. Apa kriteria ijtihad?
Tak apalah, anak kiai pun berijtihad. Orang yang berijtihad itu dia menggunakan kekuatan akalnya untuk mencapai sesuatu. Tapi kalau orang gila maka hasilnya gila juga. Jadi apabila di selimut kabut semua kelihatan cantik, jerawat tak nampak, nyalakan lampu maka nampaklah.

Kalau ada orang jatuh pada kekeliruan makna ilmu, maka akan ada pula kekeliruan dalam akhlak, politik, ekonomi dan keluarga. Sebab, penunjang dalam ilmu itu adalah bagaimana orang mencapai ilmu itu sendiri. Dalam Islam, pertanyaan tentang alam semesta yang dzohir bisa dijawab dengan lima pancai ndera. Sains, ilmu pengetahuan pun berpegang pada hal yang sama. Tapi Islam tidak berhenti hanya di situ. Islam juga melandaskan kebenaran bisa dicapai dengan pasti bukan sekadar dengan lima indera atau ilmu pengetahuan saja. Tapi juga dengan akal dan hati yang sehat.

Masa depan seperti apa yang harus dirintis kaum Muslim untuk?
Harus masa depan yang ilmiah yang akhlakiah. Dua itu sudah cukup menjamin sebuah kebahagiaan. Betatapun susah, bila kita yakin betul dan mengamalkan, insya Allah akan sampai pula pada tujuan. (Sabili)

Menangkal virus JIL perusak aqidah

Ingredients:
Virus menyerbu akidah, namun tak cukup vaksin untuk menangkalnya. Tak banyak yang sadar telah ditulari dan tak berdaya.

Seorang santri dari pesantren Al Amin, sebuah pondok di Parenduan, di ujung pulau Madura mempunyai pendapat yang cukup menggetarkan. Menurutnya, al-Qur’an adalah kitab yang tak sempurna. Dengan nada filosofis ia menyatakan, bahwa al-Qur’an adalah kitab yang sempurna dalam ketidaksempurnaan.

Fakta menyedihkan ini terungkap dalam sebuah workshop Sekulerisasi dan Liberalisasi dalam Pemikiran Islam. Workshop marathon ini diprakarsai oleh beberapa mahasiswa program doktoral di International Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC), Malaysia. Selain di Madura, acara yang sama juga digelar di Surabaya, Solo, Jogjakarta dan Jakarta.

Satu di antara banyak tujuan workshop ini adalah berbagi pengetahuan tentang gerakan sekulerisme dan liberalisme yang mengancam akidah umat Islam.

Selain di Madura, di Solo acara ini mendapat kejutan yang kurang lebih sama. Acara didemo oleh beberapa kalangan muda, salah satunya dari Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Mereka tak sepakat dengan acara workshop ini. Selidik punya selidik, protes barisan liberal dan sekuler ini berawal, karena hasil workshop akan dijadikan bahan rujukan untuk menyikapi pemikiran mereka.

Dua kasus di atas, adalah contoh kecil betapa virus-virus perusak akidah terus merangsek atas nama pemikiran dan pembaruan Islam. Nama gerakannya bisa macam-macam. Ada JIL, ada Islam Emansipatoris dan berbagai sebutan lain. “Tapi kita jangan dikacaukan oleh terminologi, karena yang bikin istilah sendiri juga pusing. Banyak nama yang mereka pakai, tapi sesungguhnya sama saja pemikirannya,” ujar Adian Husaini, salah seorang pemateri workshop.

Lebih lanjut Adian mengatakan, dunia Islam, khususnya pemikiran saat ini memang sedang diserbu besar-besaran oleh paham-paham liberal dan sekuler. “Orang-orang seperti Ulil, Masdar dan yang lainnya itu sebenarnya kecil. Saya menyebut mereka pengasong saja, ada yang lebih besar, bahkan sekarang sudah buka “pabrik” di Indonesia,” kata Adian yang tengah menyelesaikan studinya di Kuala Lumpur.

Berbagai pemikiran sekuler dan liberal diekspor masuk ke dunia Islam. Dan parahnya, ekspor virus tersebut justru digemari oleh kalangam muda Muslim. Bahkan, menurut Adnin Armas, penulis buku Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, liberalisasi di beberapa kalangan justru dianggap sebagai gerakan tauhidisasi. “Itu karena gerakan ini dianggap sebagai gerakan yang mencoba menghilangkan hal-hal mistis dan lebih mengedepankan sikap rasional. Padahal liberalisasi dan sekulerisasi tak berhenti sampai di situ, mereka juga akan terus maju menggusur nilai-nilai spiritual dalam agama, politik, sosial, ekonomi dan sebagainya.”

Dari berbagai pintu mereka masuk. Salah satu yang cukup gencar dijalankan adalah memasarkan metode Hermeneutika sebagai pisau untuk membedah ayat-ayat suci al-Qur’an. Di beberapa pergurauan tinggi negeri Islam, Hermeneutika telah dijadikan mata kuliah wajib bagi para mahasiswanya. Tak hanya itu, malpraktik juga terjadi. Tanpa menyebut nama universitas, beberapa dosen yang memprotes pemberlakuan materi ini tak lagi dapat jam untuk mengajar para mahasiswanya.

Hermeneutika terus menerus diajukan sebagai alternatif lain yang seolah-olah lebih hebat dari tradisi tafsir para ulama Muslim. Padahal, hermeneutika berawal dari tradisi para teolog Protestan Liberal untuk memahami teks bible yang bermasalah. Kini malah langkah para teolog Kristen ini ditiru oleh kalangan muda Muslim.

Menyadari bahaya itu pula, sebuah majalah pemikiran dan peradaban Islam, ISLAMIA diluncurkan baru-baru ini di Jakarta. Majalah ini sebetulnya adalah langkah dan strategi lanjutan melawan virus liberalisasi dan sekulerisasi setelah workshop marathon. Islamia menurunkan Hermeneutika sebagai laporan utama edisi perdanannya.

Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, Pemimpin Redaksi Islamia, majalah dengan semangat membawa bayan yang benar terhadap gejala liberalisasi dan sekulerisasi khususnya di kalangan muda Islam.

Pemimpin Umum Islamia, Edy Setiawan mengatakan, majalah-majalah seperti ini mutlak dibutuhkan dalam kondisi seperti sekarang. “Saya tidak bisa membayangkan, anak-anak muda kita diserbu oleh gagasan sekulerisme dan liberalisme. Mereka ini adalah calon pemimpin bangsa, apa jadinya Indonesia jika calon pemimpinnya berpikir sekuler?” ujar Edy.


Directions:
Namun berdasarkan pengalaman, seringkali media-media serius seperti majalah ini tersendat dalam perjalanannya. Tiras dan iklan kadang tak cukup menopang untuk bertahan. “Karena itu, mau tidak mau harus ada subsidi silang untuk pembiayaan media seperti ini. Harus ada dana jihad yang dianggarkan untuk bertarung dalam kancah pemikiran dan intelektual,” ungkap Edy Setiawan.

Dana jihad, tampaknya memang harus dipikirkan secara serius oleh kaum Muslimin. Terlebih dalam kancah pertarungan pemikiran. Siapa mau jadi donatur jihad peradaban? Ditunggu sumbangsihnya. (Sabili)

Jawaban terhadap pemikiran islam sekuler dan liberal

Ingredients:
Gerakan sekularisme (gerakan anti nilai-nilai Islami atau pemisahan nilai-nilai agama dengan dunia) yang digulirkan oleh mereka yang mengklaim diri sebagai (Islam) Liberal menjadi ancaman serius umat Islam Indonesia. Pasalnya, gerakan ini bakal mengikis habis upaya penerapan nilai-nilai Islami dalam kehidupan sosial, politik, budaya, hukum dan sebagainya. Bahkan, mereka mengangggap teks Al-Qur’an itu harus dikritik (hermeneutika) sebagaimana Bible dikritik oleh para teolog Kristen. Akibatnya, ayat-ayat Al-Qur’an yang muhkamat menjadi mutasyabihat, yang qath’iy menjadi dzanny, yang ma’lum menjadi majhul, yang yaqin menjadi dzanny, dan selanjutnya.

Singkatnya, Al-Qur’an dianggap tidak suci lagi sebagaimana Bible dan Taurat diselewengkan pemeluknya sendiri.

Menghadapi gerakan kaum Liberal, para pemuja tradisi Barat itu, sejumlah ilmuwan muda dari International Institute of Islamic Thougth and Civilatition (ISTAC) International Islamic University of Malaysia (IIUM) meluncurkan jurnal pemikiran dan peradaban Islam dengan nama “ISLAMIA.”

Jurnal tiga bulanan ini dimaksudkan untuk meng-counter- isu-isu atau wacana-wacana miring tentang Al-Qur’an, Sya’riah Islam, Hadis Nabi Saw, dan lain-lainnya.

“Tantantangan sekulurisme di Indonesia lebih serius dan berbahaya dibanding di Malaysia. Santri-santri pondok pesantren sudah kena virus sekularisasi. Para petinggi ormas Islam dan perguruan tinggi juga banyak yang terjebak dengan ide-ide atau isu-isu yang diimpor dari para orintalis itu,”ujar dewan redaksi Adian Husaini MA.


Directions:
Adian, yang juga mahasiswa S3 ISTAC, itu mengaku heran dan kaget dengan sikap para tokoh Islam yang begitu mudah mengekor teori-teori Barat. “Kenapa mereka tidak kritis dengan ide-ide Barat itu,”sambungnya. Dalam kunjungannya ke beberapa kampus dalam acara “Workshop Pemikiran dan Peradaban Islam”, banyak mahasiswa dan guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) di Jakarta maupun Yogyakarta dan tokoh Muhammdiyah yang secara mentah-mentah mengadopsi ide-ide itu. “Mereka ini harus diberi pencerahan. Karena yang mereka kutip untuk dijadikan rujukan itu hanya satu sumber saja,”tuturnya.

DR. Ugi Suharto, dosen ISTAC, menyatakan, upaya mereka mengkritik Al-Qur’an dengan cara hermeneutik adalah dalam rangka menjatuhkan validitas Al-Qur’an. “Dan ini tidak menguntungkan kaum Muslimin,”tutur anggota dewan redaksi ISLAMIA itu. Para kaum liberal mengikuti jejak para teolog dan orientalis itu lantaran mereka tidak paham betul dengan sejarah hermeutika Bible. “Mereka mau mensejajarkan nash Al-Qur’an dengan Bible. Padahal sejarahnya berbeda,”sambung doktor ekonomi yang fasih tentang ulumul Qur’an dan Hadis.

Direktur Utama ISLAMIA Eddy Setiawan berharap, dengan lahirnya ISLAMIA Barat juga mengakui kontribusi Islam terhadap peradaban dunia. “Saat ini ada upaya dari kalangan Barat untuk mengatakan bahwa Islam tak punya andil dalam pembangunan,”paparnya. Ia menambahkan, ISLAMIA akan terbit terus. Jadi ini bukan yang pertama dan bukan yang terakhir.

source: Karina dive

Tanggapan untuk ulil abshar abdallah; JIL, islam kaffah, mungkinkah?

Ingredients:
Setiap manusia pada dasarnya mengakui sepenuhnya bahwa ketenangan/kebahagiaan yang hakiki akan didapat apabila ia merasa dekat dengan "Kholik/Allah SWT" (penciptanya). manusia adalah makhluk, lemah, senantiasa membutuhkam bimbingan/arahan dari sang kholik, karenanya kholik tidak membiarkan makhluk hidup tanpa arahan, hidup semaunya, tanpa aturan, tanpa suri tauladan

Untuk itulah maka ada aturan agama (syari'at), yang Kholik ciptakan amat sangat sesuai dengan kudrat/kebutuhan si makhluk, atau dengan kata lain aturan yang sempurna. Namun dalam menyerap aturan-aturan yang ada tentu saja manusia akan sangat berbeda satu sama lain, karena begitu banyak faktor yang berpengaruh di sana.

Nafsu manusia... (kemalasan, kesombongan, takabur, dan seterusnya) , kemudian ditambahi dengan permusuhan abadi tentara "Syaitan" yang senantiasa menunggu kelengahan manusia.

Kesemuanya menjadi penyebab bertingkat-tingkatnya kemampuan menusia dalam menyerap dan mengamalkan aturan sang kholik, namun selama mereka tetap berpegang pada aturan yang murni (Qur'an dan Hadits) mereka tidak akan pernah tersesat, tidak akan pernah merasa jenuh sekali dengan kehidupan sehingga mencari pemuasan dengan aneka "hiburan" yang begitu berlebihan. Dalam tingkatan apapun tetap akan dirasakan ketenangan/kebahagiaan itu asalkan sekali lagi "tetap berpegang pada aturan yang murni dan sempurna (qur'an dan hadits)", karena mereka "muslim", kholik selalu bersama mereka.

Berbeda jelas sekali dengan mereka yg begitu memaksakan dan begitu mencari pengakuan kepada makhluk untuk dapat diakui sebagai seorang "muslim" (plus intelek katanya), padahal tidak satu pun aturan Kholik (qur'an dan hadits) yang mereka terima dalam hati nuraninya. Ini perlu ditekankan, karena aturan ini memang benar2 sempurna, sangat sesuai dengan kudrat manusia, universal, berlaku untuk seluruh zaman, tak pernah usang dimakan waktu.

Maka seberapapun berbedanya kondisi kehidupan saat ini dengan aneka dinamikanya, tak akan pernah menjadi masalah selama ia telah masuk dan berupaya menyerap "aturan Kholik" dengan kemampuan yg ada padanya (upaya manusia menjadi kaffah dalam menerima aturan Kholik yg amat sesuai dengan kondisinya sebagai makhluk).

Maka masuk.. kemudian berupayalah (untuk menjadi kaffah), seterusnya adalah hak Kholik untuk menilai.. bukan hak makhluk untuk menilai apakah seseorang telah kaffah atau tidak. Inilah semangat yang hendak ditekankan dalam Islam, satu yg harus dipegang "tetaplah bersama aturan yang murni... tetaplah bersama Qur'an dan Hadits" (diperlukan keikhlasan dalam menerima).

Jika tahap dasar ini telah anda lalui, maka dinamika kehidupan (aneka hiburan/budaya yg rendah menjadi ujian baginya sedang sunnah (suri tauladan) Rasulullah menjadi tantangan yg begitu menggiurkan untuk dapat dilaksanakan.. karena pada hakikatnya seseorang yang telah masuk dan melalui tahap dasar akan mendapat arahan lebih lanjut dari sang Kholik untuk dapat membedakan mana yg benar (sesuai aturan) mana yang tidak... mana yg salah mana yg benar.

Berbeda sekali dengan mereka yg hanya "merasa" menjalankan sebagian aturan... padahal pada hakikatnya tidak sedikitpun aturan yg diikuti (tak ada keikhlasan) atau mungkin telah mengikuti aturan yg salah (aturan Syeitan), atau bahkan mungkin telah menjadi tentara Syaitan dengan motivasi mencari kelengahan sang muslim sejati.... Who knows?? Untuk itu maka....

WASPADALAH!!! WASPADALAH!!! WAHAI MUSLIM!!!

Berikut artikel Ulil Abshar-Abdalla, JIL = Jaringan Iblis Liberal
aa_iwan_oce@yahoo.com



UAA-JIL Islam Kaffah, Mungkinkah? (Sebuah anti-thesa Tentang Konsep Piagam Madinah)

Ulil Abshar-Abdalla, JIL Jakarta. Saya akan mengajukan suatu pikiran kecil yang sudah mengganjal dalam benak saya sejak lama, yaitu perihal "kaffah." Apakah beragama itu harus "kaffah"? "Kaffah" itu artinya adalah menyeluruh. Kalau mau digambarkan dengan bahasa matematik, "kaffah" artinya sudut 360 derajat, lingkaran penuh. Apakah mungkin beragama secara "lingkaran penuh"?

Menurut saya, beragama searah 360 derajat itu tidak sehat dilihat dari pelbagai segi. Secara kejiwaan, orang memerlukan variasi tindakan, keragaman laku. Ada bidang-bidang dalam kehidupan, di mana agama memainkan peran penting, ada bidang-bidang lain yang tidak memerlukan "kata putus" dari agama. Agama yang "kaffah" itu hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami "sofistikasi" kehidupan seperti zaman modern.

Masyarakat Madinah pada zaman Nabi adalah masyarakat sederhana yang belum mengalami kerumitan-kerumitan struktur seperti zaman ini. Masyarakat moden mengalami perubahan yang radikal, mengalami proliferasi bidang-bidang yang begitu kaya. Ledakan bidang-bidang kehidupan zaman modern ini jelas tidak bisa diatasi seluruhnya dengan agama.

Beragama secara kaffah biasa difahami sebagai pelaksanaan diktum-diktum keagamaan secara harafiah, tekstual, menyeluruh, persis seperti diktum itu dilaksanakan pada zaman Nabi. Tentu pamaknaan kaffah semacam ini bukanlah satu-satunya pemaknaan yang mungkin. Tetapi, salah satu pengertian yang populer mengenai kaffah adalah “meng-kopi kehidupan Nabi seperti apa adanya.”

Ambillah contoh berikut ini. Kalau kita mau hidup beragama (ber-Islam) secara kaffah, maka konsekwensinya adalah: boleh jadi seluruh industri hiburan modern sekarang ini harus dihentikan. Kita tak bisa lagi menikmati film-film Hollywood. Padahal, industri hiburan menempati kedudukan yang sangat penting dalam zaman modern.

Di Malaysia, PAS, suatu partai yang mewakili pandangan keislaman yang konservatif, hendak melarang seni Melayu lokal, Makyong. Di Indonesia, FPI dan yang lain-lain mau menutup tempat-tempat hiburan, di Afghanistan orang-orang diwajibkan berjenggot. Di mana-mana, ketika Islam (konservatif) bangkit, dunia hiburan selalu menjadi korban. Apakah hiburan tak boleh? "Boleh!" kata mereka, asal sesuai dengan Islam.

Kalau kita berislam secara kaffah, pertanyaannya adalah "how kaffah can you go?" Masing-masing orang berlomba paling kaffah dari yang lain. Orang-orang yang masih satu senti kurang kaffah dianggap kurang "Islami" oleh orang-orang lain yang kebetulan sudah satu senti lebih kaffah, dan seterusnya. Saya tak sanggup hidup dalam lingkungan di mana orang-orang di dalamnya berlomba menunjukkan kesalehan secara obsesif.

Beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah. Ada saat-saat kita beragama dengan khusyuk, ada saat kita bisa menghibur diri sendiri dengan asyik. Panduan yang layak kita petik dari agama adalah ajaran tentang larangan "israf" atau berlebihan. Asal tak berlebihan saja.

Sogeng, Jakarta. Saya kira Ulil benar. Tak ada penganut agama yang kaffah, baik ia seorang muslim, Kristen, Budha, Hindu, atau Kong Hu Chu. Sangat mustahil ada orang beragama secara khaffah, karena missi agama sebenarnya adalah sebagai penyeimbang hidup manusia untuk tidak "berat sebelah" ke arah destruktif dalam hidupnya, ia hanyalah sebuah tawaran ide untuk dinamisasi kehidupan.

Islam yang saya pahami, merupakan agama yang tidak akan pernah mencapai ke-kaffah-an baik dari pemeluknya maupun agamanya. Memang, dalam al-Quran dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, namun kesempurnaan yang dijelaskan dari seluruh isi Al-Quran bukan merupakan kesempurnaan final. Banyak ayat dalam Al-Quran yang menuntut manusia untuk menggunakan akalnya untuk menjelaskannya. Hal ini menunjukkan bahwa kesempurnaan al-Quran masih berbentuk dasar-dasarnya saja atau merupakan kesempurnaan ide, ia masih memerlukan tafsiran, ijtihad, atau lain sebagainya untuk menuju ke-kaffah-annya itu.

Ulil Abshar Abdalla, JIL Jakarta. Saya membaca berita tentang pemerintahan Taliban yang kabur dari Kabul, lalu orang-orang pesta pora, perempuan keluar rumah, musik diperdengarkan kembali, dan laki-laki antri cukur jenggot. Orang-orang Muslim sendiri banyak yang mengatakan, apa yang dilakukan Taliban itu tak ada sandarannya dalam Islam; itu semata-mata "medievalisme" yang barbarian. Tapi apa lacur, apa yang dilakukan Taliban, yang tampak konyol oleh kita, itulah yang sebenar-benarnya ada dalam tradisi kita, dalam ajaran klasik Islam kita.

Islam, kalau mau diterjemahkan secara harafiah, jadinya ya Taliban itu. Dan literalisme, sekarang ini, menjadi kegemaran jutaan orang Islam di seluruh dunia. Sebab, literalisme memberi kesan akan "otentisitas", memberi rasa mantap dan yakin-diri akan kehidupan yang sesuai dengan "masa lampau" yang ideal dan suci. Berkali-kali saya katakan dalam forum ini, bahwa masa depan Islam tak bisa lain kecuali Islam liberal, setelah kita menyaksikan sendiri versi modern dari literalisme yang konyol pada Taliban. Kalau orang Islam belum kapok dengan contoh ini, ya kebangetan!

Semoga dengan jatuhnya Kabul, dan kocar-kacirnya Taliban, kocar-kacirlah literalisme Islam yang melahirkan pemahaman keagamaan yang lucu itu. Sejarah bergerak secara progresif, menuju "finalitas" yang makin rasional, makin tercerahkan, makin liberal. Kalau Islam tak mau mengikuti itu, dan berkubang dalam "medievalisme" yang mesum, maka habislah agama ini. Saya masih tetap ingin Islam relevan untuk kehidupan ini, karenanya saya harus menafsir kembali dengan susah payah.

Ichan Loulembah, Puskakom, Jakarta. Pendapat saya, "Islam ibadah" bukan termasuk yang didikusikan Ulil. Yang masuk dalam kategori wacana Ulil adalah "Islam peradaban" dalam pengertian segenap perangkat nilai --yang tidak pernah atau tidak boleh selesai-- yang digunakan secara sadar maupun dibawah sadar oleh penganutnya berdasarkan rekaman emosional, psikologis maupun logis.

Masalahnya adalah "Islam peradaban" itu hanya salah satu peserta kompetisi sosio-kultural yang menghunjam segenap pribadi muslim, dengan segenap keniscayaannya. Di luar itu, ada sejumput nilai yang menggedor setiap detik dengan mesin peradaban modern yang sialnya beroperasi lebih canggih ketimbang Islam. Apakah ini gambaran inferioritas atau kekalahan? Terus terang saya tidak tahu.

AE Priyono, ISAI Jakarta. Dulu, saya biasa menyetel Beethoven No. 5 sambil shalat dengan niat untuk memperoleh kekhusyukan --meskipun akhirnya tetap tidak bisa mendapatkan keduanya secara sekaligus. Kini saya menginginkan suasana yang sangat sunyi untuk mendapatkan dua jenis kenikmatan yang berbeda itu.

Saya tidak pernah mengganggap serius perintah fikih yang melarang musik. Dan di kalangan fundamentalis pun isu ini tetap kontroversial. Toh sebuah jenis Islam yang lain, seperti Rumi, bisa berasyik masyuk dengan musik dan tarian justru untuk mencapai ekstase dengan Tuhan. Atau bukankah nada sengit Ulil itu sekadar skeptisisme terhadap khazanah klasik tertentu yang ditiru secara serampangan oleh kalangan fundamentalis, yang dia sendiri merasa lebih sah memilikinya?

Ulil Abshar Abdalla, JIL Jakarta. Saya mungkin agak berlebihan. Tapi, saya ingin mengatakan bahwa dunia hiburan dan leisure (baca: kenikmatan waktu senggang) menempati ruang yang begitu besar dalam kehidupan modern. Bahkan ruang publik modern dibentuk salah satunya oleh leisure ini. Tapi, Islam tampaknya abai terhadap hal yang satu ini, dan kalau mau masuk ke dalamnya, ia hanya mempunyai piranti klasik yang sudah tidak memadai.

Saya bukan penikmat hiburan yang baik; saya hanyalah seorang yang sangat amatir untuk itu. Tetapi, saya merasakan ada hal yang sehat dalam suatu ruang publik di mana dunia "leisure" bisa ditampung, di mana hiburan bisa dikembangkan dengan wajar.

AE Priyono mengatakan bahwa larangan musik tidak cukup serius di kalangan kaum fundamentalis. Saya justru berpandangan sebaliknya. Talibanisme telah menjadi hantu yang membayangi saya, sebab saya tahu, apa yang dikerjakan Taliban memang betul-betul ada sandarannya dalam salah satu jenis penafsiran atas Islam, jenis penafsiran yang literal; suatu penafsiran yang memusuhi dunia hiburan dengan obsesif.

Hantu itu lebih mengerikan karena pandangan-pandangan yang "medieval" (baca: bersifat abad pertengahan; maksudnya: sudah tak sesuai lagi) semacam itu tidak saja hendak diselenggarakan sebagai "keasyikan" pribadi, tapi mau ditegakkan melalui negara. Negara mau dijadikan aparatus pengawas "kesalehan" dengan memberangus dunia hiburan.

Saya jelas tidak menganjurkan kehidupan yang permisif. Kritik atas dunia hiburan yang kerapkali membius "nalar yang cerah" jelas harus terus dilakukan. Untuk hal ini, umat Islam patut belajar dari studi-studi kebudayaan (dalam pengertian “cultural studies”) yang muncul belakangan ini. Yang menjadi keprihatinan saya adalah soal pengaturan ruang publik yang mau disesuaikan dengan standar kesalehan yang rigid, dengan meminjam negara sebagai aparatus penegaknya.

Luthfi Assyaukanie, JIL Jakarta. Saya agak berbeda pendapat dengan Ulil soal kaffah itu, yang karena itu pemahamannya tentang konsep itu menjadi melebar ke mana-mana, sesuatu yang bisa dihindari kalau istilah itu didudukkan dalam konteks al-Quran yang sebenarnya. Ulil, menurut saya, sudah "terpengaruh" dengan penafsiran awam yang mengartikan "silmi" semata-mata sebagai "Islam." Karenanya, surah Albaqarah (208) itu dipahami secara literal: silmi=Islam, karena akar kata s-l-m sama dengan -i-s-l-m.

Padahal, kalau kita membuka tafsir-tafsir al-Quran dan membacanya secara kritis, kata "silmi" itu bukan berarti Islam, paling tidak bukan satu-satunya. Bahkan ada sebuah kiraat yang diriwayatkan dari A'masy, kata itu tidak dibaca "silmi" tapi "salami" yang tentu saja memiliki makna berbeda dari pengertian yang selama ini beredar. Perlu diketahui, kiraat ini sahih.

Zamakhsyari, imam tafsir yang menurut saya paling ahli dalam bahasa Arab, dalam tafsir Al-Kassyaf-nya, misalnya mengartikan istilah itu dengan "ketaatan kepada Tuhan." Pendapatnya ini diperkuat dengan asbabun nuzul ayat tersebut, yang sesungguhnya ditujukan bukan untuk orang-orang Islam, tapi justru untuk Ahlul Kitab yang dalam konteks itu dianggap punya kecenderungan bersikap "sinkretis."

Dalam konteks "silmi" yang berarti "islam" kita bisa membandingkannya dengan asbabun nuzul ayat tersebut yang jelas-jelas akan memberikan impresi berbeda dari yang selama ini kita pahami dari kaum literalis. Ayat itu diturunkan untuk Abdullah bin Salam, seorang Yahudi Madinah yang konon setelah masuk Islam tetap menjalankan ritual-ritual keagamaan lamanya (ia masih menjalankan ritual sabat dan membaca taurat dalam salat!), sesuatu yang membuat para sahabat "cemburu" dan kemudian protes kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat "udkhulu fissilmi kaffah" itu sebagai protes untuk sikap keberagamaan Abdullah yang sinkretis itu.

Jadi, "kaffah" itu saya kira tak ada hubungannya dengan "berislam secara total" seperti selama ini dipahami, tapi ia hanyalah pesan untuk menghindari sinkretisme.

Ulil Abshar-Abdalla, JIL Jakarta. Talibanisme adalah puncak kevulgaran literalisme Islam yang dimulai sejak gerakan wahabisme merebak di tanah Nejd. Peristiwa di Afghanistan ini makin membuat saya yakin bahwa "kesalehan privat" tidak bisa ditegakkan melalui negara. Agama haruslah menjadi kesadaran invidual yang bebas, tanpa diawasi oleh lembaga ekstra-persona yang nyinyir dan cerewet.

Saya makin yakin, dengan kejadian di Afghanistan itu, kehidupan haruslah dipecah menjadi dua. Di satu pihak adalah kehidupan privat atau pribadi, di mana agama memainkan peran yang penting. Dalam kehidupan ini kita mengembangkan apresiasi dan penghayatan yang mendalam dan khusyuk terhadap dimensi-dimensi spiritual dalam kehidupan. Di pihak lain adalah kehidupan publik yang harus diatur sesuai dengan kesepakatan-ksepakatan masyarakat. Agama hanyalah menjadi inspirasi untuk pengaturan itu.

Dalam kehidupan publik, Tuhan menyerahkan semua hal pada voting. "Antum a'lamu bi umuri dunyakum," kata Nabi; kalian lebih tahu urusan mundan yang anda hadapi setiap hari. "Fa-ma sakata 'anhusy syari'u fahuwa 'afwun," kata Nabi dalam hadis yang lain; apa-apa yang agama diam, maka itu berarti memang bukan urusan agama, ia urusan duniawi yang menjadi kawasan "mubah" (diperbolehkan). Saya memandang bahwa kaidah Islam sangatlah sederhana:

Pertama, kaidah dasar dalam urusan ritual adalah: semua hal yang tidak memperoleh pengesahan dari agama, adalah haram (al ashlu fil 'ibadati al hurmatu). Orang tidak boleh menciptakan cara tersendiri untuk salat. Salah ya harus seperti diajarkan Nabi itu, "Shallu kama ra-aitumuni ushalli" (salatlah sebagaimana kalian lihat aku salat). Ritual-ritual Islam sudah ditetapkan dengan pasti, tinggal dijalankan saja.

Kedua, kaidah untuk kehidupan mundan dan duniawi: semua hal adalah boleh, kecuali yang jelas-jelas dilarang oleh agama. Catatan saya: kaidah ini masih mengandung kelemahan. Menurut saya, kaidah ini seharusnya berbunyi demikian: sesuatu yang bersifat mundan adalah boleh, kecuali yang atas alasan konsensus publik dilarang.

Dengan pandangan semacam ini, saya sebetulnya ingin mengatakan bahwa "birokratisasi kehidupan" yang sekuler adalah satu jenis pengaturan kehidupan yang paling masuk akal sekarang ini. Dalam pengaturan yang semacam itu, terdapat kemungkinan yang tanpa batas untuk mengoreksi kesalahan dan penyelewengan yang terjadi dalam pengaturan kehidupan publik. Sebab, semua perkara ditentukan melalui proses "duniawi" yang relatif, tidak mempunyai klaim keabsolutan. Karena itu, sikap paling ideal sebagai Muslim sekarang ini adalah sebagai berikut:

Pertama, secara individual menghayati relijiusitas yang mendalam; mengembangkan penghayatan spiritual yang penuh dengan cinta pada Allah. Dengan kata lain, secara individual model yang ideal adalah Rabiah Al Adawiyah, seorang wali perempuan yang mencintai Allah secara tuntas dan tanpa batas.

Kedua, secara sosial, mengembangkan kehidupan publik berdasarkan kesepakatan-kesepakatan umum yang dicapai secara demokratis. Kehidupan publik ia kembangkan berdasarkan inspirasi cinta ketuhanan yang feminin itu, bukan berdasarkan diktum-diktum harafiah agama, apalagi fiqh. Rasio dan nalar yang sehat adalah panduan utama dalam pengelolaan ruang publik ini. Saya tak tahu, siapa model yang baik dalam hal ini dalam sejarah Islam.

Dalam wawasan seperti ini, "ke-kaffah-an" Islam hanya dikembangkan dalam kehidupan pribadi. Dalam sistem sosial, tak ada suatu sistem yang "kaffah". Sistem sosial yang "kaffah" adalah sistem yang totaliter dan tidak bisa dibatalkan oleh konsensus. Sistem yang tak bisa dibatalkan oleh konsensus dan voting, tidak layak dijadikan sebagai landasan pengelolaan kehidupan ramai. Sistem sosial (sebaiknya atau seharusnya) selalu bersifat provisionaris, alias sementara, bukan "kaffah", alias sudah final dan abadi.

A. Rumadi, IAIN Jakarta. Soal agama "kaffah," menurut saya, argumentasi konvensional sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Pemahaman Islam sebagai agama yang "serba meliputi," menyeluruh dan seterusnya merupakan akal- akalan "misionaris" Islam untuk menyedot "pendukung." Ke-kaffah-an seolah identik dengan jaminan keselamatan seseorang hanya dengan memeluk agama itu dan cukup dengan mengucapkan "syahadat."

Di luar itu, saya kadang berpikir apakah orang beragama itu memang harus full time. Tidak bolehkah beragama secara part time. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi harus "beragama," sampai mau ke toilet pun harus "beragama." Ke-kaffah-an Islam sering kali juga di ukur dari hal-hal seperti ini. Rasanya enak sekali kalau beragama bisa part time.

A. Bakir Ihsan, IAIN Jakarta. Istilah kaffah sebenarnya multitafsir. Kaffah menurut mazhab Taliban tentu berbeda dengan kaffah menurut Ulil. Persoalannya hanya pada otoritas. Ketika Ulil melontarkan persoalan kaffah di forum ini, banyak yang menanggapinya seakan-akan itulah kaffah yang sebenarnya, atau kaffah-nya Ulil salah dan harus diserang karena akan memiliki efek lanjutan. Padahal masing-masing kita memiliki otoritas yang sama untuk menafsirkan kaffah.

Kata kaffah sendiri bukan sebuah istilah final untuk menentukan benar atau salah, sempurna atau tidaknya tingkat keberagamaan seseorang. Manusia ini sekedar penafsir terhadap simbol ketuhanan dan keberagamaan. Dalam proses penafsiran, terkandung relativitas yang tinggi. Yang benar-benar kaffah hanyalah Tuhan. Muhammad sendiri sebagai penyebar Islam tidak kaffah dalam arti sempurna seratus persen.

Kaffah bagi mazhab Taliban adalah meniru sepenuhnya masa Nabi. Mereka berusaha memindahkan masa silam pada masa kini; memelihara jenggot, pakai sorban, perempuan pakai cadar dan sebagainya. Jenggot, sorban, cadar bagi mereka adalah bagian dari keislaman mereka. Sayangnya mereka tidak berperang pakai pedang dan naik onta saat melawan Amerika, seperti pada masa Nabi. Tetapi inilah kekaffahan yang mereka yakini.

Saya setuju dengan Ulil bahwa doktrin keagamaan mazhab Taliban memiliki pijakan yang kuat dalam literatur Islam. Tapi ini bukan persoalan krusial, dan pijakan ini bukan satu-satunya milik mereka. Karena Ulil sendiri, dan mungkin teman-teman yang lain, memiliki alasan yang sama kuatnya untuk mempertahankan pandangannya tentang keberagamaan yang kaffah.

Arsuka, Nirwan Ahmad, Bentara Jakarta. Provokasi Ulil di debat ini ada adalah provokasi seorang realis, seorang intelektual tulen yang melihat dengan dingin kenyataan yang berlangsung. Ajakannya untuk tidak berislam secara kaffah adalah ajakan yang sangat bernilai. Ajakan Ulil itu, seperti dikarikaturkan oleh Bimo Ario Tejo, memang bisa diplintir menjadi dalih bagi oportunisme, bagi kepengecutan dan kemunafikan. Tapi ajakan itu juga bisa dilihat sebagai kesimpulan dari seorang intelektual muslim yang sadar akan batas-batas: sebuah ajakan yang lahir dari sikap tahu diri dan rendah hati.

Ngotot berislam secara kaffah itu secara karikatural mirip dengan ngotot menjadi prajurit TNI secara kaffah. Makhluk angker seperti ini selalu menjadi tentara bukan hanya di barak atau di medan perang, tapi juga menjadi tentara di bis kota, di masjid, di arena joget dangdut, di lapangan pertunjukan wayang, di antrean loket kereta, di pasar-pasar, di mana saja dan kapan saja. Akibatnya adalah jika ia masuk pasar ia cenderung bicara setengah membentak sebagai cara untuk menawar harga kain seragam, jika ia jum'atan orang-orang minggir memberinya jalan ke saf terdepan, jika naik metromini ia tak merasa perlu bayar ongkos dan kondektur segan menagihnya, jika ia kesenggol di arena joget dangdut ia bisa langsung menarik pistol dan mengajak rekan-rekannya menyerbu arena itu.

Sudah tentu, karikatur “kaffah” ini bukanlah hal yang kita kehendaki pada Islam. Mungkin perlu merumuskan pengertian kaffah yang lain, yang lebih tepat untuk keadaan kita saat ini.


Directions:
JIL-Ulil Abshar-Abdalla : Saya Ingin Meniru Al-Tahtawi

Selama tiga bulan Ulil Abshar-Abdalla, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kontroversial, menghilang dari hiruk pikuk Indonesia. Sampai kemudian dia mudik lagi setelah mendapat kabar bahwa Ayahandanya, KH. Abdullah Rifa’i meninggal, di pertengahan Desember lalu. “Padahal saya masih ingin berlama-lama di sini sampai buku saya selesai,” kata Ulil yang pernah mendapat fatwa mati dari Forum Ulama Umat Islam (FUUI) ini. Ia mendapat undangan dari University of Michigan untuk menjadi guest lecturer dengan memberi mata kuliah tentang “Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia” selama setengah bulan di universitas yang terletak di kota Ann Arbor ini. Selain Ulil, tahun-tahun sebelumnya yang pernah mendapat undangan serupa adalah Dr. Nurcholish Madjid dan Goenawan Mohamad.

Setelah mengajar selesai, Ulil kemudian menetap di Athens, negara bagian Ohio, tepatnya di Ohio University. Ulil ingin merealisasikan obsesinya selama ini: menulis buku. Buku ini merupakan penafsiran dia secara utuh tentang Alqur’an dan ajaran Islam secara umum dari perspektif Islam liberal. Dalam wawancaranya dengan Hamid Basyaib dari Jaringan Islam Liberal, Kamis 8 Januari 2003 lalu, dia berharap, buku ini bisa menjelaskan secara utuh pemikiran–pemikirannya yang selama ini dianggap kontroversial. Menurutnya, selama ini bukunya yang sudah terbit hanya berasal dari artikel-artikel lepas saja. Berikut petikannya:

HAMID BASYAIB (HAMID): Bung Ulil, saya ingin tahu, bagaimana respon mahasiswa ketika Anda mengajar?

ULIL ABSHAR-ABDALLA (ULIL): Responnya cukup bagus. Kita tahu, di Amerika saat ini perbincangan atau pembicaraan soal Islam sangat menarik. Bisa disebut seksi lah. Di mana-mana orang selalu bertanya mengenai Islam. Dan harap diketahui, bahwa Michigan University ini adalah tempatnya orang-orang yang anti George W. Bush atau pendukung Partai Demokrat. Kumpulan orang-orang yang visinya progresif-kiri, anti perang Irak, kebanyakan orang-orang kritis dan punya simpati besar terhadap Islam.

HAMID: Ketika Anda mengajar, pertanyaan apa sih yang paling sering dilontarkan kepada Anda sebagai orang Islam dan pemikir dari sebuah negara Islam terbesar di dunia yang akhir-akhir ini cukup kontroversial?

ULIL: Sebelumnya ada dua hal yang mengesankan bagi saya selama mengajar di sana. Pertama, semua orang yang mengikuti kuliah saya, tampaknya secara psikologis sudah siap menerima wejangan saya. Mereka sudah mempunyai mindset bahwa Islam tampaknya disalahpahami di Amerika. Mereka paham akan hal itu. Jadi, mereka harus belajar dari orang Islam sendiri. Lebih spesifik lagi, mereka ingin mendengar Islam versi Asia Tenggara, lebih khusus versi Indonesia. Jadi, mereka datang dengan simpati yang besar, dengan persepsi bahwa Islam adalah agama yang dizalimi publik Amerika, sehingga mereka perlu mengundang saya untuk memberi informasi first hand kepada publik di sana.

Kedua, ada beberapa orang yang tidak mengerti mengapa terjadi radikalisme dalam Islam. Pertanyaan ini pernah diangkat Farid Zakaria (kolomnis senior majalah Newsweek-red) dalam edisi khusus Newsweek yang berjudul: Why do they hate us? Kenapa mereka (orang Islam) membenci kami (orang Amerika)? Ada pertanyaan mengenai hal itu. Dan menjawab pertanyaan semacam itu tidaklah mudah.

HAMID: Tadi Anda menyebut mereka ingin tahu Islam versi Asia Tenggara atau lebih khusus lagi Indonesia. Apakah mereka sudah cukup tahu tentang Islam Arab atau versi Timur Tengah?

ULIL: Harus diketahui, bahwa exposure atau informasi mengenai Islam di luar kawasan Arab itu sangat kecil. Salah satu sebabnya adalah karena populasi orang Islam dari Arab di Amerika besar sekali. Masjid pertama kali yang didirikan di Amerika pada akhir abad ke-19, di daerah Iowa didirikan oleh orang Siria. Dan memang, di negara bagian Michigan ada satu kota kecil bernama Dearbon, yang menjadi pusatnya orang Arab di sana. Dan di sana ada masjid besar. Michigan dikenal sebagai negara bagian yang mempunyai populasi orang Islam paling besar di Amerika. Sehingga perjumpaan orang Amerika dengan orang Islam di sana lebih banyak diwakili orang Arab. Hal itu sudah terjadi selama dua abad.

HAMID: Selain mengajar, saya dengar Anda juga menulis buku. Betulkah?

ULIL: Betul. Sebenarnya konsentrasi saya di sana adalah riset, membaca, dan menulis sebuah buku yang sedang saya siapkan. Semoga selesai dalam waktu dekat. Bagi saya, tidak ada sesuatu yang indah dalam kehidupan ini kecuali membaca, menulis, dan riset dengan bahan yang cukup. Saya tidak tahu kapan negeri ini bisa memenuhi itu semua. Perpustakaan di perguruan tinggi Amerika itu luar biasa.

HAMID: Buku apa yang Anda tulis?

ULIL: Saya menulis semacam metode penafsiran ala Islam liberal. Lebih spesifik penafsiran tentang Alqur’an. Tentu bahan-bahanya tidak semua ada, tapi sebagian yang saya butuhkan bisa tercukupi. Yang paling menyenangkan di sana adalah suasana keilmuan yang sangat kondusif.

HAMID: Apakah Anda tidak kesulitan menulis di Michigan dan Ohio, sebab ahli Islam tidak banyak, bahkan tidak ada. Padahal Anda kan membutuhkan counter part untuk kepentingan penulisan buku ini?

ULIL: Memang, itu yang tidak saya temukan di sana. Tapi ada seorang ahli perbandingan agama, hanya saja fokus studinya bukan tentang Islam, tapi tentang Hindu. Karena saya merasa counter part itu banyak saya temui di Indonesia. Di sana, saya kan menemukan dan Cuma butuh tempat yang enak untuk menulis dan membaca saja. Sekarang buku itu sudah selesai sekitar enam puluh persen.

HAMID: Selama ini Anda kan dikenal sebagai pemikir Islam yang sangat kontroversial, sampai-sampai difatwa mati. Apakah proyek buku itu menjadi kelanjutan pemikiran Anda secara utuh?

ULIL: Inginnya sih begitu. Tapi kalau sekarang saya buka seluruh isinya, tentu akan membuat buku itu tidak menarik lagi. Tidak surprise. Tapi secara umum, salah satu aspek yang ingin saya tunjukkan kepada pembaca adalah bahwa Alqur’an sebagai kitab suci, hanya salah satu kitab suci saja. Bukan satu-satunya kitab suci di dunia ini. Itu saya kira aspek yang dilupakan oleh banyak orang; bahwa Alqur’an adalah scripture among sciptures, dia adalah kitab suci di antara kitab suci yang banyak. Dan wahyu yang dibukukan dalam Alqur’an sebenarnya adalah revelation among revelations, wahyu di antara wahyu yang lain. Dan orang Islam saya kira layak untuk belajar jenis-jenis wahyu yang lain.

HAMID: Maksudnya?

ULIL: Menurut saya, hampir semua kitab suci itu bermuatan mukjizat. Selama ini orang Islam hanya menganggap bahwa mukjizat terbatas pada Alqur’an saja. Saya tentu sangat percaya bahwa Alqur’an adalah mukjizat dan hebat. Tapi bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. Setelah saya membaca studi perbandingan mengenai kitab suci yang lain, saya menemukan bahwa hampir semua kitab suci adalah indah, mukjizat dan mengagumkan. Bagi saya, orang Islam perlu meletakkan kitab sucinya dalam kerangka mukjizat yang luas ini.

HAMID: Lantas bagaimana dengan klaim tentang keaslian kitab suci Alqur’an yang hanya terbatas pada Alqur’an saja?

ULIL: Kita harus meninjau ulang konsep atau gagasan tentang keaslian kitab suci. Bagi saya, semua kitab suci adalah asli. Tapi harus diingat bahwa kitab suci itu tumbuh seperti tanaman. Artinya, tidak ada kitab suci yang lahir ke dunia langsung menjadi besar, sebesar tanaman seumur 50 tahun. Kitab suci itu seperti manusia; dia mengalami fase bayi, remaja, dewasa, dan tua. Saya tidak menjumpai sejarah manusia yang langsung jadi. Ketika kita melihat Alqur’an, Taurat, Veda, Injil, dan Upanishad, semua itu adalah kitab suci yang tumbuh. Kalau kita sebut asli bagaimana? Semua kitab suci adalah asli; semua kitab suci adalah sesuai dengan ajaran agamanya, tapi dia berubah atau tumbuh sesuai dengan tahap-tahap yang dia lalui.

Memang ada pandangan dalam kalangan Islam bahwa kitab-kitab suci di luar Islam itu diselewengkan. Tapi kita harus menelaah kembali apa yang dimaksud oleh Alqur’an dengan ungkapan “diselewengkan” itu. Apakah diselewengkan isinya atau intinya, atau diselewengkan pada tingkat pelaksanaannya. Kalau dalam tingkat pelaksanaanya, Alqur’an pun diselewengkan.

HAMID: Atau dalam istilah Alqur’annya tahrîf.

ULIL: Ya, istilahnya tahrîf. Saya kira terlalu teknis kalau saya bicarakan hal ini terlalu mendalam. Tapi intinya, saya kira banyak orang Islam yang salah memahami makna tahrîf itu. Mereka percaya, seoalah-olah proses turunnya kitab Injil dan Taurat itu sama dengan Alqur’an; melalui proses pewahyuan kepada nabi dan dicatat. Injil bukan begitu proses turunnya. Sebab, Nabi Isa tidak pernah menerima wahyu seperti Nabi Muhammad menerimanya. Jadi konsep wahyu dalam Injil itu berbeda dengan dalam Alqur’an.

Yang ingin saya tekankan dalam buku saya nanti adalah, seyogyanya orang Islam memahami konsep pewahyuan itu dalam konteks yang berbeda-beda. Pewahyuan ala Islam, pewahyuan ala Kristen, ala Yahudi, dan lain-lain. Itu semua pewahyuan, tapi berbeda konteksnya, dan dinilai berdasarkan penilaiannya sendiri-sendiri. Jadi jangan sampai menilai kriteria wahyu di luar Islam berdasarkan kriteria Islam. Itu tidak fair.

HAMID: Menurut Anda, bagaimana memahami konsep wahyu dalam agama Kristen misalnya?

ULIL: Saya tidak ingin masuk dalam detail-detail agama Kristen. Tapi intinya, banyak hal yang indah, baik, dan mengagumkan yang saya temui dalam semua kitab suci. Saya membaca Injil dan menikmati sekali. Saya menyukai beberapa bagian dalam Perjanjian Baru seperti khotbah di atas bukit. Dalam Perjanjian Lama, pasti semua orang menyukai kidung agung the song of Solomon; kisah cinta dalam bentuk yang lembut, subtil, dan indah sekali. Intinya, semua kitab suci itu mukjizat dari berbagai seginya.

Misalnya lagi, kehebatan kitab-kitab suci di luar Alqur’an seperti Veda, salah satu kitab suci yang paling tua dari India. Inilah kitab yang selama ribuan tahun tidak pernah ditulis; sebuah kitab suci yang proses transmisinya dari satu generasi ke genarasi yang lain melalui kisah. Istilahnya, dalam studi-studi kitab suci melalui suara. Jadi ini kitab suci yang auditif, dikisahkan secara oral, dari satu generasi ke genarsi berikutnya. Kitab ini baru ditulis pada abad XIX oleh sarjana Eropa bernama Friedrich Max Muller, bukan oleh orang India sendiri. Dia yang menulis dan mengodifikasi kitab Veda. Yang mengherankan, selama ribuan tahun kitab ini tidak pernah ditulis tapi tetap terjaga. Dan tidak hilang. Banyak hal dalam tradisi oral yang hilang, tapi Veda tidak hilang.

Jadi menurut saya, ayat dalam Alqur’an yang berbunyi, innâ nahnu nazzalnâ al-dzikrâ wa innnâ lahû lahâfidzûn (Aku menurunkan Alqur’an dan Aku juga yang akan menjaganya) itu berlaku untuk semua kitab suci. Berlaku buat Injil, juga Upanishad. Kalau Anda beragama Hindu dan termasuk deretan pengagum Mahatma Gandhi, Anda bisa membaca buku yang dia tulis mengenai Tuhan. Hal ini menarik, karena Gandhi mengemukakan wawasan ketuhanan yang sifatnya universal. Semua agama sama; kitab suci semua hebat. Gandhi mengapresiasi Alqur’an, Injil, Taurat, dan seterusnya.

HAMID: Mungkin kalau banyak orang yang menghormati perbedaan agama secara proporsional, dunia ini akan damai, ya?

ULIL: Yang ideal, kita akan menjumpai situasi yang menyerupai free market of ideas atau free market of scriptures, of revelations, of religions. Pasar bebas kitab-kitab suci.

HAMID: Apa yang mau Anda simpulkan dari kunjungan ke Amerika kemarin?

ULIL: Terus terang, saya ingin meniru Rifa’ah Rafi’Al-Tahtawi, seorang ulama Mesir yang dikirim ke Perancis pada abad ke-19 oleh pemerintah Mesir untuk menjadi pemimpin mahasiswa Mesir yang sekolah di Perancis. Dia menulis kesannya mengenai kota Paris khususnya, dalam kitabnya yang terkenal Tahlîsul Ibrîs fi Talkhîsil Bâris. Kesimpulannya kira-kira, banyak hal positif yang bisa kita pelajari dari orang lain, siapapun mereka. Dalam kehidupan orang Amerika, saya menemukan banyak hal yang menurut standar Islam akan sangat Islam sekali, sekalipun banyak juga hal lain yang menjauhi nilai islam. Tapi kalau ditotal, yang sesaui dengan nilai-nilai Islam lebih banyak ketimbang yang tidak sesuai.. JES -+- US

source: Karina dive

Debat publik fiqih lintas agama: MMI vs Paramadina

Ingredients:
Berikut ini hasil rangkuman materi & transkrip Debat Publik dalam bentuk HTML antara Majelis Mujahidin Indonesia versus tim Paramida yang berlangsung tanggal 15 Januari 2004 di UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta atas kontroversial buku "Fiqih Lintas Agama".


MENAKAR KEKAFIRAN BERFIKIR
TIM PENULIS PARAMADINA:
Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, Masdar F. Mas'udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rahman, Ahmad Gaus AF dan Mun'im A. Sirry.
DI DALAM BUKU: FIKIH LINTAS AGAMA
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Cet. I September 2003


Materi ini merupakan Kata Sambutan Irfan S. Awwas dalam kapasitasnya sebagai Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia, pada acara Debat Publik "Fiqih Lintas Agama" yang berlangsung tanggal 15 Januari 2004 di UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta

Fikih Pluralis yang dikembangkan oleh Tim Penulis Paramadina dan dikemas dalam sebuah buku berjudul, "Fikih Lintas Agama" yang diterbitkan bersama oleh Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, merupakan salah satu bentuk kekafiran berfikir. Menyimak isinya yang dengan enteng mengorbankan prinsip-prinsip Islam untuk kepentingan "berhala kemanusiaan" jelas amat berbahaya. Kerangka berfikir liberal yang mendasari opini para penulis, syarat dengan fitnah serta pelecehan terhadap Syari'at Islam. Selain itu juga mengandung unsur penghinaan terhadap keyakinan umat beragama. Berdasarkan hal itu, maka pada tanggal 12 Dzulqa'dah 1424 H (4 Januari 2004 M), Majelis Mujahidin, sebuah institusi tansiq untuk Penegakan Syari'at Islam, menantang melakukan debat publik dengan tim penulis buku Fiqih Lintas Agama. Para penulis harus bertanggung jawab secara intelektual dan juga moral terhadap kandungan isi buku tersebut. Melalui debat publik, Majelis Mujahidin sebenarnya ingin melestarikan tradisi para ulama, ketika menghadapi persoalan yang masih diperselisihkan, siap diajak ber-munadharah.

Debat publik yang diusulkan Majelis Mujahidin, secara spesifik dimotivasi oleh beberapa alasan, antara lain: Pertama, pada akhir kata pengantarnya, editor buku mengajak masyarakat luas untuk menguji berbagai gagasan dalam buku ini. Kedua, gagasan dalam buku dimaksud ternyata mengandung distorsi pemikiran yang berbahaya serta pelecehan terhadap aqidah Islam. Para penulisnya telah melakukan manipulasi, misalnya dengan mengutip pendapat Imam As-Syatibi dalam kitab Al Muwafaqod mengenai Maqasidus Syari'ah, yang ternyata tujuan yang dimaksudkan penulis buku berlawanan dengan penjelasan di dalam buku aslinya.

Alasan Ketiga, pluralisme agama yang dikembangkan dalam buku ini merupakan kerangka berfikir "Talbisul Iblis", yaitu memoles kebathilan dengan menggunakan dalil-dalil agama atau argumentasi al-haq untuk tujuan kesesatan, seperti prilaku para pendeta Yahudi dan Nasrani. Ringkas kata, mereka menggunakan dalil-dalil kebenaran untuk tujuan kebathilan. Agama diorientasikan kepada kepentingan manusia, sehingga ketika manusia merasa kepentingannya tidak terwakili, maka mereka merasa bebas untuk pindah agama atau bahkan tidak beragama sama sekali. Keempat, buku ini dapat mengundang salah paham terhadap syari'at Islam seperti yang umum dilakukan para orientalis dan kaki tangannya. Sebagaimana yang dilakukan Ahmad Amin dan Qasim Amin di Mesir yang menulis tentang Islam, Aqidah dan Syari'ah, kritik terhadap fiqih yang dilakukan tim penulis Paramadina di dalam Fikih Lintas Agama, memposisikan mereka yang berbeda pendapat dengan gagasan sesatnya ini sebagai orang "yang ingin menjadikan fikih bukan sebagai cara atau alat memahami doktrin agama, melainkan sebagai dogma yang kaku, rigid yang ujung-ujungnya adalah formalisasi Syari'ah Islam" (hal. 4 alinea 3). Dan formalisasi Syari'ah Islam dipandang sebagai kecenderungan orang yang kurang wawasan, dan tidak berfikir dalam kerangka kemanusiaan. Mereka curiga,"Fikih, secara implisit ataupun eksplisit telah menebarkan kebencian dan kecurigaan terhadap agama lain. Ada beberapa istilah yang selalu dianggap musuh dalam fikih klasik, yaitu "musyrik", "murtad", dan "kafir". Apakah Islam memang benar-benar sebagai agama yang menebarkan permusuhan dan kekerasan...? (hal. 2 alinea 2 dan 3). yang ujung-ujungnya kata mereka, formalisasi syari'at Islam.

Oleh karena itu, untuk membuktikan betapa berbahayanya buku ini dalam hal menyesatkan manusia serta fitnah terhadap Islam, kami akan meminta penjelasan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara konfrehensif sebagai upaya klarifikasi terhadap penulis mengenai gagasan yang, dalam pandangan Majelis Mujahidin merupakan kekafiran berfikir.

Pada bagian keempat buku ini terdapat pernyataan yang cukup menarik, tentang perlunya dialog agama dalam upaya menjalin kerjasama lintas agama. Dan juga dinyatakan, tidak ada kerjasama tanpa didahului dialog, dan dialog yang tidak berlanjut pada kerjasama merupakan dialog setengah hati, bahkan verbalisme. Apabila pernyataan ini berlaku untuk debat kita hari ini, sudah semestinya Anda tidak mampu mengalahkan argumentasi yang kami kemukakan, maka kerjasama kita adalah: Harus ada keberanian untuk mohon maaf dan menyatakan taubatan nasuha terhadap kekafiran berfikir yang Anda tunjukkan dalam buku ini.

A. MUQADDIMAH[

1. Di dalam buku ini dinyatakan perlunya menjadikan Kemanusiaan sebagai pijakan di dalam membuat FIQIH.

Bagaimana Anda berbicara tentang fiqih lintas agama, sementara dalam realitas manusia tidak seluruhnya beragama, bahkan ada yang menentang agama dan tidak beragama sama sekali, berarti Anda masih berada dalam kerangka berfikir eksklusifisme. Apabila orang-orang yang tidak beragama dan menentang agama kepentingan mereka tidak tersentuh sama sekali, bukankah hal ini bertentangan dengan semboyan "Kemanusiaan"yang anda jadikan pijakan.

2. Apabila Anda berbicara soal agama, anda harus menjelaskan apa yang menjadi rukun-rukun atau unsur dasar dari agama yaitu:
a. Al Ma'bud (Siapa yang menjadi fokus sesembahan).
b. Syari'ah (Bagaimana cara sesembahan itu dilakukan).
c. Al 'Abid (Penyembah-Nya).

Kaitannya dengan gagasan Anda tentang fikih lintas agama, maka Anda harus menjelaskan sesembahannya siapa, cara yang ditempuhnya bagaimana. Jika Anda mengatakan, bahwa masing-masing umat beragama menyembah menurut kepercayaannya sendiri-sendiri, jelas suatu pernyataan yang kontradiktif, karena masing-masing menurut caranya sendiri-sendiri. Disini tidak ada lintasnya, karena di dalam lintasan itu bertemu dalam satu titik sehingga warna perbedaan masing-masing ditinggalkan. Kalau Anda jawab, bahwa yang dimaksudkan dalam pergaulan sehari-hari itu aspeknya sangat luas. Maukah orang Hindu meninggalkan doktrin ke-Kastaan, orang Kristen meninggalkan doktrin penyaliban dan penebusan dosa, orang Budha meninggalkan doktrin vegetarian, orang Yahudi meninggalkan doktrin riba boleh diambil dari non Yahudi, dan Anda sendiri, maukah para penulis meninggalkan sikap pemberontakan Anda terhadap syari'ah Islam?

3. Anda menyebut kata-kata "Musyrik", "Kafir", dan "Murtad" sebagai istilah fiqih (hal 2 alinea 2), padahal istilah tersebut jelas terdapat di dalam al-Qur'an. Misalnya kata-kata Musyrik terdapat antara lain di dalam:
Qs. At-Taubah, 9: 28 artinya, kaum musyrik itu najis.
Qs. At-Taubah, 9: 34 artinya, kaum musyrik itu membenci Islam.
Qs. Nuh, 71:120 artinya, Nabi Nuh bukan golongan musyrik
Qs. Rum, 30: 31 artinya, melarang kalian menjadi orang musyrik
Qs. At-Taubah 9: 3 artinya Allah berlepas diri dari kaum musyrik

Kafir:
Qs. Al-Baqarah, 2:6 artinya, orang kafir tidak bisa diajak kepada kebenaran.
Qs. Mukmin, 40:28 artinya, kaum kafir itu usaha dan rencananya sesat.
Qs. Mukmin 40:50 artinya, kaum kafir hanya menyeru kepada kesesatan.

Murtad:
Qs. Al-Maidah, 5:54 artinya, orang mukmin dilarang murtad.
Qs.Muhammad, 47:23 artinya, orang murtad dikendalikan oleh syetan

Apakah ayat-ayat al-Qur'an itu adalah fiqih? Apakah Anda tidak dapat membedakan antara fikih (pemahaman) dengan Qur'an (obyek pemahaman)? Jika ayat al-Qur'an itu fiqih berarti mengambil sumber dari yang lebih tinggi, karena fiqih itu adalah produk pemahaman manusia atas teks-teks agama. Seperti yang Anda katakan pada hal 5 alinea 3, "Hingga kini, rumusan Syafi'i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi dari nash-nash Syar'i. Buktinya setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi'i".

Fikih sebagai alat memahami teks, bagaimana bisa dianggap lebih tinggi dari Qur'an? Ini kerancuan berfikir yang keterlaluan. Konklusi logis apabila ayat al-Qur'an dianggap fiqih berarti Allah menjadi obyek hukum dari sesuatu yang dianggap lebih tinggi dari Allah, lalu Allah berfikir untuk memahami apa yang menjadi kehendak atau menjadi titah dari sesuatu yang lebih tinggi itu, sehingga keluar ayat-ayat al-Qur'an sebagai hasil pemahaman Allah tersebut. Apakah demikian yang Anda maksud?

4. Apabila Anda menyoal Fiqih Islam supaya membuka diri sehingga menerima fiqih-fiqih di luar Islam. Tunjukkan pada kami, apakah agama-agama selain Islam: Nasrani, Budha, Hindu, Khonghucu dllnya punya fiqih yang bisa dijadikan bahan untuk merumuskan fiqih lintas agama? Di dalam buku ini Anda tidak paparkan contoh-contohnya, tolong saudara beri contoh!

Sebagai perbandingan mengenai hukum pidana, ada hukum pidana Indonesia dan negara-negara lain. Jika kita bicara hukum pidana lintas negara, maka tentu ada parameter atau rumusan yang kita jadikan rujukan untuk menyusun hukum pidana lintas negara itu. Nah, yang Anda kemukakan di dalam buku ini, adalah keluhan mengenai persoalan-persoalan yang jawabannya sudah diterangkan di dalam fiqih Islam, tetapi kemudian dengan mengatasnamakan masyarakat non muslim Anda sebagai hal yang tidak dapat diterima.

Misalnya, haram bagi umat Islam mengadakan perayaan natal bersama, tidak boleh memberi salam atau mendo'akan umat non muslim. Dilarang orang kafir masuk masjid, dilarang wanita muslimah menikah dengan lelaki kafir. Semua ini sudah ada jawabannya di dalam fikih Islam, tetapi kemudian Anda ingin mengakomodir keberatan dengan melakukan sebaliknya. Maka hal ini tidak bisa disebut fiqih lintas agama, tetapi pembatalan terhadap Syari'ah Islam. Bila Anda punya hujjah yang lebih kuat yang sesuai dengan Qur'an dan Sunnah, silakan Anda kemukakan. Tetapi Anda tidak bisa membatalkan hukum haramnya menikahkan muslimah dengan lelaki kafir, hanya karena misalnya Nurcholish Madjid menikahkan puterinya dengan lelaki Yahudi. Atau ikut natal bersama, hanya karena Said Agil Siraj mencontohkan itu. Siapa pun dia, selain Nabi Saw. maka dia tidak bisa dianggap sebagai representasi dari ajaran Islam, juga tidak bisa diposisikan sebagai uswah hasanah sebagaimana Nabi Muhammad.

Jika benar Quraisy Sihab menyatakan Yahudi dan Nasrani tidak lagi memusuhi umat Islam, hal ini bertentangan dengan statemen Samuel Huntington yang menyakatan: Musuh terbesar barat pasca komunisme adalah Islam. Jika Anda menyeru untuk meninggalkan pendapat Imam Syafi'i tentang hal di atas, padahal dia berpendapat sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah Nabi, maka pendapat selainnya yang menyalahi Qur'an dan Sunnah Nabi lebih layak untuk ditinggalkan.

5. Pada hal 4 alia 3, Anda menolak formalisasi Syari'ah Islam dengan alasan, hal itu berpotensi menimbulkan perilaku diskriminatif atau pemaksaan kepada pihak lain. Apabila Anda konsistensi berpegang atas dasar berfikir semacam ini, maka kami bertanya kepada Anda: Apakah hukum-hukum sekuler yang digunakan oleh negara-negara sekuler dalam mengatur kehidupan warga negaranya tidak juga menggunakan pola formalistik dan fundamentalistik? Misalnya undang-undang pajak, undang-undang lalu lintas, undang-undang pidana dan lain sebagainya yang dalam penerapannya mendapat tentangan dari banyak pihak, tetapi tetap saja dipaksakan melalui kekuasaan.


Directions:
Kalau saudara keberatan terhadap formalisasi syariat Islam dengan alasan akan memicu konflik antar umat beragama, maka demi keadilan, Anda harus menyatakan hal yang sama terhadap formalisme undang-undang sekuler. Kalau saudara menerima formalisme undang-undang hukum sekuler, tetapi menolak formalisasi syari'at Islam, maka Anda tidak saja telah meninggalkan prinsip berfikir ilmiyah, argumentasi obyektif serta berwawasan kemanusiaan, tetapi juga Islam dan umat Islam yang berpegang teguh pada aqidah Islam.

6. Berbicara agama Anda mesti menjelaskan apa tujuan hidup yang digariskan oleh agama, apa hubungan antara penyembah ('abid) dengan yang disembah (ma'bud), apakah hubungan bersifat setara sehingga menimbulkan tanggungjawab timbal balik atau bersifat vertikal sehingga hanya ada beban kepada sepihak dan pertanggunganjawab kepada pihak yang disembah. Sebab tanpa penjelasan semacam ini berarti tidak ada agama, karena agama yang tidak menjelaskan posisi penyembahnya terhadap otoritas Yang Disembahnya, maka itu hanyalah permainan hawa nafsu dan kebingungan orang yang tidak berakal. Maka dalam fiqih lintas agama yang Anda propagandakan harus jelas rumusan tentang tujuan hidup dan tanggungjawab pada orang-orang yang beragama. Apabila Anda tidak dapat menjelaskan berarti Anda berfikir antagonistic dan kontradiktif diametral karena mengunakan kata-kata fiqih dan agama yang mempunyai konotasi dan pemahaman mutlak tertentu tetapi ternyata batas-batas tujuan dan tanggungjawabnya tidak jelas.

Kalau saudara ingin membangun agama baru dengan nama "agama pluralisme", maka saudara harus menjelaskan tujuan sentral agama ini dan kepada siapa tempat manusia menyampaikan tanggungjawabnya nanti setelah mati, dan konsekuensi dari perbuatan-perbuatan orang yang menjalankan "agama pluralisme" itu. Apabila Anda tidak dapat menjelaskan secara benar, maka fikih lintas agama jelas merupakan sinkretisme yang dapat menjerumuskan pengikutnya kepada kemusyrikan dan murtad Dien.

source: Karina dive